Bagi penikmatnya, dalam keadaan kepepet, rokok merek apa saja jadi. Asalkan melihat bara kala diisap. Pun menyaksikan asap putih saat diembuskan.
Lima tahun lalu saya "berhening" selama seminggu di satu desa di kaki gunung Salak.
Suatu hari kehabisan rokok (waktu masih perokok berat). Mencari rokok favorit berharga 16 ribu ternyata takada. Kalaupun ada, rokok kretek tanpa filter bercukai resmi ditawarkan dengan harga 13 ribu, seribu rupiah lebih mahal bila membelinya di kota.
Saya tertarik kepada bungkus rokok berwarna hijau tua dan biru, merek yang juga baru saya ketahui, ditawarkan dengan harga Rp 6 ribu dan Rp 8 ribu masing-masing isi 12 batang.
Saya ambil satu bungkus hijau tua (mereknya Tebu) dan satu bungkus rokok berwarna biru (lupa namanya).
Di tempat peristirahatan dinikmati. Ternyata rasanya lumayan, jika tidak mau dibilang tidak terlalu enak. Namun lama-lama terbiasa juga sebagai pengganti rokok yang biasa dikonsumsi. Dingin sih!
Selera, kegemaran, akhirnya menyesuaikan dengan rokok yang ada. Mengisap rokok ilegal pun jadi. Penting ada asapnya.
Barangkali begitu cara berpikir pembeli rokok ilegal. Beralih dari rokok bercukai resmi yang naik dan akan terus naik, ke rokok lebih murah. Ternyata tidak masalah.
Bagi perokok: sama-sama menghasilkan kenikmatan, sama-sama mengeluarkan asap.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H