Seingat saya, empat tahun lalu rokok kretek itu ditukar dengan uang Rp 16-17 ribu. Saking lamanya tidak merokok, saya baru tahu kalau harganya sudah jauh berbeda.
Juga baru tahu, ternyata di kios tersebut tersedia beragam rokok yang dulu belum pernah saya dengar mereknya. Harganya pun setengah dari rokok punya nama, Rp 9 -- 11 ribu per bungkus isi 12 batang. Bisa jadi di warung-warung pinggiran Bogor ada pula rokok dengan harga lebih terjangkau.
Bagi penggemar, rokok dengan harga mahal tetap dibeli, kendati sambil menggerutu. Kalau tidak, ya beralih ke rokok serupa dengan harga lebih murah. Ada juga yang membeli tembakau beraroma rokok merek terkenal, berikut papir (kertas rokok) dan alat linting rokok manual terbuat dari kayu.
Harga mahal, rokok lebih murah, dan rokok tingwe (linting dewe) bagi perokok bukan masalah besar. Terpenting ada asap mengepul dari mulut, kendati dapur tidak ngebul.
Empat tahun lalu saya adalah perokok yang turut merasakan kenaikan harga rokok waktu itu.
Dalam satu hari menghabiskan satu bungkus rokok kretek tanpa filter dan satu bungkus rokok mild. Kretek untuk dinikmati berlama-lama. Mild diisap di sela waktu sempit.
Termasuk bukan perokok berat, namun sudah lama sekali saya berkeinginan untuk berhenti merokok. Sulit sekali. Berhasil sedikit merokok hanya saat bulan Ramadhan.
Mencoba mengurangi sedikit demi sedikit, tidak berhasil menghentikan kebiasaan merokok. Sempat mengganti rokok dengan permen dan camilan, tidak berhasil juga. Malahan tubuh cenderung melar.
Dengan cara itu, paling banter bisa berhenti merokok hanya tiga hari. Selanjutnya saya kembali ngelepus (bahasa Sunda untuk terus menerus merokok), meski ada kenaikan harga satu jenis rokok dari Rp 12.500 menjadi Rp 16 ribu.
Bagi saya, ternyata harga rokok naik tidak serta merta menghentikan kebiasaan merokok. Tidak ada pengaruhnya.