Selagi menyeruput kuah lontong sayur buatan Emak warung nasi uduk, mendengar seorang pria berbincang di atas sadel sepeda motor yang sedang melaju. Tiada pembonceng pun motor mengiringi di sampingnya.
Berbicara sendiri! Gangguan kejiwaan?
Ternyata tidak. Sebuah telepon pintar menyisip di antara rahang dan helm. Rupa-rupanya ia sedang bertelepon ria. Demikian sibuknya sehingga tidak sempat berhenti.
Amatlah riskan berkendara sambil menelepon. Mengganggu konsentrasi. Bilamana mendadak ada rintangan, pengendara tidak bakal mampu bereaksi cepat. Meleng sekian detik bisa berakibat fatal.
Alangkah eloknya apabila ketika berkendara mendengar nada masuk terlebih dahulu meminggirkan kendaraan. Berhenti. Barulah mengangkat telepon. Atau menelepon balik, jika panggilan itu terlewatkan.
Saya tidak biasa bertelepon ria kala mengendalikan kendaraan.
***
Dalam tahun 2017. Pada satu siang yang panas saya sedang mengendarai sepeda motor matik di jalan menjelang Pasar Bogor.Â
Sayup-sayup terdengar nada dering. Telepon genggam di saku menggetarkan dada. Demi mengetahui ada panggilan, saya pun menepi. Memarkirkan motor di tepi jalan Otista.
Bangku kayu di depan lapak belum buka mengundang. Saya duduk, melepaskan helm dan menaruhnya di samping.