Mengangkat telepon, nada dering sudah berhenti. Tertulis panggilan tak terjawab di layar. Menelepon balik nomor tersebut lalu berbicara panjang kali lebar dengan rekan kerja.
Banyak perkara detail yang mesti didiskusikan, sehingga telepon menempel di kuping memakan waktu cukup untuk mengisap satu batang kretek. Habis konsentrasi menerangkan soal serius secara rinci.
Seusai mengantongi telepon genggam, saya bergegas menghidupkan motor. Memutar hand grip.Â
Mesin meraung. Melesat cepat ke tujuan. Di depan BTM, sebuah mal dekat Kebun Raya Bogor, melewati sekumpulan para petugas . Yaitu polisi pengatur lalulintas di jalan protokol tersebut.
Serentak lima atau enam kepala berhelm putih memandang takjub. Saya mengangguk lalu tersenyum santun kepada mereka.Â
Kalau memungkinkan, ingin rasanya menyapa lalu bercakap-cakap. Namun waktu tidak memperkenankan.
Tidak jauh setelah melewati lampu pengatur lalulintas, kira-kira di depan Balai kota yang sejuk, berembus angin menyisir kepala. Dingin. Ah, sepertinya terlalu dingin.
Telapak tangan kiri mengusap kepala dengan lembut. Hah? Ternyata tidak ada helm di sana!
Hendak balik lagi, jalan merupakan ruas satu arah. Mesti memutar lintasan di mana pada titik-titik penting bercokol para petugas.
Lantas, bagaimana dengan polisi-polisi tadi?
Bisa jadi mereka mengira kepala saya yang baru dicukur licin sebagai helm.