Senyawa sulfur yang tajam dan bersifat toksik adalah hasil metabolisme tubuh setelah mencerna jengkol. Polong-polongan ini mengandung asam jengkolat (jengcolic acid) yang memiliki sifat mirip dengan asam urat (uric acid).
Selain itu, jengkol kaya dengan kandungan karbohidrat, protein, vitamin A, vitamin B, fosfor, kalsium, minyak atsiri, dan nutrisi lainnya.
Oleh karena itu, bila dikonsumsi dalam jumlah wajar, jengkol bermanfaat bagi kesehatan. Yakni: mengandung antioksidan yang bermanfaat melawan radikal bebas; mencegah diabetes; melindungi dinding lambung dari luka akibat asam lambung; ekstrak daunnya mengurangi peradangan; zat besi dalam jengkol dapat membantu mencegah anemia (sumber).
Ketika berada di Pasar Anyar Kota Bogor, satu pedagang menyebutnya kancing lepis (maksudnya: Live's). Lainnya memelesetkan menjadi jengki. Penjual tersebut menerangkan jenis jengkol menurut usia.
Jengkol Muda
Biasanya jengkol muda berumur 1-2 bulan. Setelah dicopot cangkang dan selaput pelindungnya, tampak permukaannya kasar, berwarna hijau kekuningan. Dagingnya tipis, rapuh mudah patah (crunchy), dan kesat.
Dilahap dengan nasi hangat setelah dicocol garam dan sambal. Dimakan begitu saja tanpa dimasak. Dimakan mentah, sodara-sodara!
Jangan tanya aromanya. Saya belum pernah memakannya dengan cara dilalap.
Jengkol Tua
Daging jengkol tua, usia 2-3 bulan, yang telah dikupas cangkang dan selaput pelindungnya terasa liat, kesat, dan berwarna hijau kekuningan.
Baunya amat tajam dan rasanya sedikit getir. Dagingnya kenyal sehingga perlu dimemarkan saat hendak dimasak.
Bila digoreng, setelah diangkat ditaburi garam selagi masih panas. Legit! Dimakan bersama sambal, nasi hangat sepiring sepertinya tidak bakal cukup.
Cara lain dikukus. Jengkol kukus hangat ditaburi kelapa parut menjadi kudapan sore hari sembari ngopi. Tanpa nasi.