Belum sebulan, seorang kenalan menutup kios di food court, lalu memindahkan penjualan soto ke rumahnya. Ia mengabarkannya sekaligus mengundang untuk mampir ke tempatnya.
Kendati piring dan mangkuk kosong telah lama diangkat, perbincangan demi perbincangan berlangsung seru. Kenalan bernama Doni memang doyan mengobrol.
Apa saja menjadi topik bahasan. Termasuk pertimbangan yang mendasari keputusan Doni untuk tidak melanjutkan sewa kios di pusat jajanan.
Food court atau pusat jajanan itu dekat dengan tempat tinggalnya, taklebih dari 300 meter. Tempatnya luas, adem, dengan potensi pasar yang menjanjikan. Awalnya.
Dengan keberadaan di halaman sebuah kantor, food court diperkirakan akan menarik kunjungan dari pegawai kantor setempat, tamu instansi itu, maupun umum.
Namun, menurut Doni, pengalaman menjual di sana, dalam waktu kurang dari sebulan, membuatnya memutuskan untuk tidak melanjutkan sewa tempat. Pertimbangan serupa juga mendorong tenant lainnya (salah satunya gerai masakan Padang) tidak meneruskan berjualan di tempat itu.
Rata-rata penjualan 4 porsi per-hari dirasa tidak menguntungkan bagi sebagian penyewa.
Pengelola hanya menarik biaya sewa, tanpa upaya mempromosikan food court ke khalayak luas/umum. Salah satunya, memasang spanduk dan umbul-umbul di tepi jalan memberitahukan keberadaannya.
Ada 22 tenant menjual aneka makanan minuman yang di antaranya menjual produk serupa. Misalnya, terdapat lebih dari dua penjual soto.
Beberapa waktu sebelumnya saya berkunjung ke food court tersebut. Kesan didapat dituliskan dalam artikel terdahulu. Salah satunya tentang perlunya "pemberitahuan" kepada pengunjung umum agar datang berkunjung. Tidak melulu menyasar pegawai atau tamu kantor.