"Tumben?"
"Mumpung tidak diburu-buru."
Berlangsung perbincangan demi perbicangan. Kasto memang langganan tetap, kendati belum tentu setiap hari mampir makan ke warung Emak.
Berbeda dengan Jenal, yang nongkrong setiap hari. Mengisi perut atau sekadar menyeruput kopi.
Oh ya, Jenal merupakan karib Kasto. Mengontrak rumah petak di sekitar, maka ia bisa makan dua tiga kali sehari di warung Emak, mengingat tiada lagi yang menyediakan makanan pun menyeduhkan kopi di tempatnya.
Dua tahun lalu istrinya berpulang.
Dari Jenal Kasto mengenal warung Emak yang ternyata menyediakan hidangan yang cepat akrab dengan lidah pengecap, juga tidak menguras isi kantong. Kasto tidak bisa setiap hari datang sebab rumah dan tempat kerjanya jauh.
Namun dari perjumpaan dengan makhluk paling indah, besoknya Kasto berangkat lebih pagi agar sempat sarapan di Warung Emak. Nasi setengah, tumis kangkung, dan tongkol balado. Taklupa mencomot sepotong tempe goreng berselimut terigu.
Besoknya Kasto berangkat lebih pagi, memesan nasi setengah, tumis kangkung, dan tongkol balado, dan tempe. Taklupa mencomot sepotong tempe goreng berselimut terigu. Besoknya lagi dan lagi.
Sekarang tiap pagi, atau sore hari pulang kerja, Kasto pasti mampir ke warung Emak. Kemudian bertemu Jenal dalam kesempatan yang kerap. Dua karib berbincang tentang masa silam, pekerjaan, dan karyawati Emak yang masih baru.
Jenal pun lebih mudah memecah kebuntuan, "pegawai baru, Mak? Siapa namanya?"