Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Naik Sepur Kluthuk hingga Menumpang Gerbong Pos

28 September 2022   06:48 Diperbarui: 28 September 2022   15:01 2567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto sepur kluthuk oleh anaterate dari pixabay.com

Naik kereta api pada zaman dulu adalah tentang pengalaman yang sekarang hanya bisa dikenang.

Kereta api merupakan moda angkutan umum menyenangkan. Bagi saya. 

Memungkinkan untuk berjalan hilir mudik di dalam gerbong. Bisa merokok di bagian dekat WC.

Sepur Kluthuk

Kereta api ini benar-benar mengeluarkan api dan asap. 

Apabila menengok ke kepala kereta, muka akan hitam berkat asap hasil pembakaran kayu atau batu bara untuk memanaskan ketel. Uap memutar roda-roda besi.  Menghela kereta api di atas jalan besi.

Mungkin sekarang sebagian besar rel besi itu sudah tertutup aspal. Tertimbun tanah. Bahkan ditumpuki bangunan-bangunan.

Gerbong berwarna hijau tua. Dinding dan lantainya terbuat dari kayu (mungkin jati atau kayu keras kelas satu lainnya). Tempat duduknya dari rotan.

Sepotong ingatan yang berkelebat. Terkenang masa kecil naik kereta uap dari Bangkalan ke Kamal. Tahun 1970-an jarak sekitar 20 kilometer itu ditempuh menggunakan kereta.

Sepur Kluthuk yang juga menghubungkan sentra penambangan garam dan daerah penghasil tembakau Sumenep ke pelabuhan.

Dari ujung barat pulau Madura itu barulah orang dan barang menyeberang menuju pulau Jawa.

Kira-kira begitu yang berhasil saya ingat. Naik kereta api sesungguhnya atau disebut kereta kluthuk merupakan pengalaman tidak terlupakan.

Gerbong Ekonomi tanpa AC

Ada masanya di mana untuk memesan tiket KA perlu antre panjang. Sampai di loket, tiket ternyata habis. Ajaibnya, karcis tersedia di tangan para calo.

Para calo? 

Benar, perantara liar itu tidak satu, tetapi beberapa orang. Menawarkan tiket yang tiada di loket dengan harga tinggi. Berapa pun jumlahnya.

Beruntunglah orang tua saya. Jika berangkat dari Malang, cukup memesan kepada tetangga yang merupakan pegawai PJKA (sekarang PT KAI). Harga sama tidak terpaut jauh dengan di loket.

Menumpang di kelas 3 (ekonomi) adalah naik di gerbong tanpa AC, kursi berhadapan dengan konfigurasi 2-3. Sandaran tempat duduk fix alias tegak tidak dapat direbahkan.

Sebagian besar perjalanan pada malam hari, sehingga hawa dalam gerbong tidak begitu pengap dan panas. Juga tidak perlu khawatir lapar. Pada setiap perhentian berbagai pedagang asongan menawarkan makanan minuman dengan harga terjangkau.

Lumayan naik kereta malam. Ekonomis. Terpenting sampai ke tujuan.

Gerbong Pos

Pada saat bersama teman-teman memerlukan biaya paling hemat dalam perjalanan dari Bandung menuju Surabaya. Salah satu cara adalah naik kereta kelas ekonomi. 

Memasuki ruang paling belakang gerbong paling buncit. Duduk di atas tumpukan amplop. 

Bukan amplop gratifikasi untuk pejabat tukang judi!

Duduk, sesekali berbaring, di atas karung-karung berisi kumpulan warkat milik Pos. Surat-surat dengan tujuan berbagai kota di arah timur dari Bandung.

Bayar ongkosnya tidak dengan membeli tiket resmi di loket, atau calo di lobi stasiun. Namun membayar ala kadarnya kepada petugas pemeriksa di atas gerbong berjalan. Hemat!

Begitulah pengalaman naik kereta api pada sekian dekade lampau. Jauh sebelum Ignatius Jonan mengubah pelayanan dan citra perusahaan angkutan kereta seperti sekarang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun