Praktisnya, mereka menggunakan galon merek apa saja untuk menampung air mineral isi ulang. Bahkan memanfaatkan galon sekali pakai produksi AMDK merek tertentu.Â
Harganya antara Rp 4 ribu sampai Rp 5 ribu. Jika diantar dalam radius tidak lebih dari 1,5 km, maka harga menjadi Rp 6 ribu.
Bayangkan apabila meliputi kebutuhan minum 20 pekerja? Bahkan 100 pekerja?
Kalau menukar galon kosong dengan galon isi air mineral merek sama, ya dompet pengawas (mandor) para pekerja bisa jebol.
Oleh karena itu, mandor proyek membeli air isi ulang semata-mata demi perhitungan biaya. Kualitas air menurut standar kesehatan bukan pertimbangan pertama.
Pokoknya ia menyediakan air minum dengan harga lebih murah untuk pekerja. Murah semurah-murahnya!
Dalam kesempatan ngopi bareng seusai berakhirnya proyek, seorang mandor baru mengaku: air minum untuk pekerja berasal dari air kran sebuah musala. Mengingat jauhnya lokasi proyek ke depot air isi ulang.
Kami tercengang. Sang mandor segera menukas, "yang penting mereka masih hidup. Juga tidak sakit."
Galon-galon air minum di proyek sangat mungkin terpapar sinar matahari dan dibanting-banting. Menyebabkan zat BPA pembentuk galon bermigrasi ke dalam air di dalamnya.
Jadi di dalam proyek konstruksi, bukan kesehatan air dalam galon yang membuat mandor galau, tapi perhitungan dalam menyediakan air minum bagi para pekerja.
Akhirul Kata
Sebagian orang belum menyadari paparan zat pengganggu kesehatan dalam air kemasan galon, akibat perlakuan keliru atau apa saja. Apalagi dengan penggunaan air isi ulang tanpa mengetahui kualitasnya menurut standar kesehatan.