Per definisi, quiet quitting adalah melakukan pekerjaan sesuai kebutuhan minimum. Bekerja seperlunya kalau tidak mau dibilang ogah-ogahan. Tidak melampaui waktu dan ruang lingkup pekerjaan, demi meraih worklife balance lebih baik (referensi).
Sedangkan quiet firing terjadi ketika perusahaan memperlakukan pegawai dengan cara buruk, sehingga mendorongnya untuk berkeinginan keluar dari pekerjaan. Yakni dengan tidak mengapresiasi karyawan yang hanya bekerja seperlunya.
Saya pernah berada di perusahaan yang ketat menerapkan peraturan ketenagakerjaan, peraturan perusahaan, tata tertib perusahaan, dan job description masing-masing pegawai sesuai kontrak kerja. Dokumen-dokumen itu menerangkan hak dan kewajiban karyawan.
Setiap pegawai menjalankan pekerjaan menurut waktu dan ruang lingkup ditentukan. Terspesialisasi demi mendapatkan hasil maksimal bagi perusahaan. Sebaliknya, manajemen memberikan imbalan dan tunjangan sesuai peraturan berlaku.
Setelah menyelesaikan pekerjaan dan waktu pulang tiba, mereka menerakan kartu absen di mesin Amano.
Pada zaman itu, lebih dari dua dekade lampau, sudah umum pegawai perusahaan yang saya kelola pulang tenggo. Absen pulang pas bunyi "teng" pukul lima sore. Tapi ada juga yang bekerja melewati waktu.
Pekerjaan lewat waktu karena penugasan, dilakukan berdasarkan surat dari Departemen Sumber Daya Manusia (SDM/HRD) yang ditandatangani oleh atasan.
Rasa-rasanya tidak ada fenomena quiet quitting pada masa itu, yaitu bekerja ogah-ogahan dengan hasil biasa saja.
Pegawai bekerja sesuai dengan waktu dan ruang lingkup merupakan satu hal lumrah. Kelebihan jam kerja beberapa menit atas inisiatif sendiri merupakan salah satu bentuk dedikasi kepada perusahaan.
Kalau diinstruksikan bekerja lebih dari waktu disebut lembur.Â