Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kenaikan Harga-harga dan Ketabahan Pedagang Makanan

22 September 2022   19:58 Diperbarui: 22 September 2022   22:24 1393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diketahui, pada hari Sabtu (3/9/2022) pukul 14.30 WIB pemerintah menetapkan harga baru untuk Pertalite, Solar bersubsidi, dan Pertamax. Sesungguhnya harga bahan pokok merambat naik menjelang pengumuman kenaikan harga BBM.

Kelompok cabai dan beras mengalami kenaikan dalam kisaran 0,32% hingga 0,95%, seperti dilaporkan oleh kompas.com. Sebelumnya, harga sejumlah bahan pangan bergolak memicu inflasi. Dari kedelai, minyak goreng, cabai, bawang merah, sampai telur ayam negeri.

Kenaikan harga bahan pangan berdampak langsung terhadap biaya produksi pedagang makanan. Di mana di dalamnya terdapat pedagang makanan yang berkeliling. Pedagang kecil.

Lantas, bagaimana mereka menghadapi situasi sulit?

Keadaan menyulitkan berasal dari meroketnya harga-harga bahan produksi. Kenaikan harga bahan adalah keadaan yang tidak bisa dikendalikan.

Di sisi lain pedagang bisa memilih, ikut naik atau tidak. Harga jual berada dalam kendali pedagang. Namun sebagian memilih tidak menaikkan harga, karena berisiko menurunkan jumlah penjualan.

Harga jual tetap. Pedagang melihat kenyataan bahwa pembeli tidak mau mengerti. Pokoknya harga jual tidak naik, apa pun yang terjadi. Kalau tidak, mereka akan pindah ke lain hati.

Dilema bagi pedagang keliling. Sebuah situasi sulit yang tidak menyenangkan.

Seorang penjual mi ayam gerobak mangkal di depan masjid. Belum ada pembeli, sehingga bisa diganggu dengan obrolan tak bermutu. 

Foto gerobak mi ayam (dokumen pribadi)
Foto gerobak mi ayam (dokumen pribadi)
Terungkap bahwa harga produksi mi ayam mengalami kenaikan. Mi kuning dari harga Rp 13 ribu menjadi Rp 15 ribu per kg, ayam potong menjadi Rp 36 ribu per kg, dua setengah kilogram sayur sawi (caisim) menjadi Rp 20 ribu, dan seterusnya.

Alhasil, harga pembuatan mi ayam mengalami kenaikan, sementara harga ke konsumen tetap. Menaikkan harga jual bukan pilihan tepat.

Satu cara menyiasatinya, pedagang mi ayam itu mengorbankan keuntungan. Ditambah sedikit mengurangi isian dalam mangkuk. Dari 12 porsi/kg mi kuning menjadi 13 porsi. Dalam sehari ia rata-rata menghabiskan 3 kg mi kuning.

Dengan demikian, ia mampu mempertahankan jumlah pembeli dengan harga tetap. 

Pagi itu saya pembeli kedua setelah pedagang es loder di bawah pohon rindang. Harganya mi ayam semangkuk Rp 10 ribu.

Di hari berikutnya, saya berjumpa dengan tukang bubur ayam dorongan. Ia menjalankan strategi serupa dengan penjual mi ayam.

Foto tukang bubur ayam (dokumen pribadi)
Foto tukang bubur ayam (dokumen pribadi)

Kenaikan harga beras, ayam potong, bawang tidak serta merta membuatnya menaikkan harga jual. Ia mengenal daya beli warga.

Harga tertinggi adalah Rp 7 ribu per mangkuk. Sedangkan Rp 4.000 -- 5.000 per mangkuk merupakan harga yang umumnya dibayar oleh warga di dalam gang.

Penjual bubur keliling itu pun mengurangi keuntungan dan mengecilkan takaran per porsi. Dua liter beras bahan baku bubur (ekuivalen 2 ltr x 0,753 kg = 1,506 kg) menjadi 40 porsi, dari sebelumnya 35 mangkuk.

Meskipun sudah sarapan, pagi itu saya makan bubur komplit (plus kacang kedelai goreng, seledri, bawang goreng, sedikit kecap manis, sambal, kerupuk). Aliran diaduk! Harganya Rp 5 ribu semangkuk.

Dalam keadaan sulit di mana kadang kala sepi pembeli, para pedagang kecil itu saling membeli barang dijual. 

Penjual es loder membeli mi ayam. Tukang bubur membeli es loder. Penjual mi ayam menyantap bubur ayam. Secara tidak langsung muncul kehendak bawah sadar untuk melariskan penjualan satu sama lain.

Dari pembicaraan dengan pedagang kecil di atas, ditambah dengan tangkapan informasi secara visual, maka dapat disarikan beberapa hal berikut:

  • Kenaikan harga bahan tidak lantas membuat pedagang makanan menaikkan harga jual.
  • Mereka mengurangi keuntungan dan isi dalam mangkuk, dalam upaya menyiasati peningkatan harga pokok penjualan.
  • Menganggap kenaikan harga bahan pangan sebagai keadaan yang given, di mana mereka tidak punya kuasa untuk mengubahnya.
  • Mereka memiliki pemahaman umum: yang penting barang dagangan terjual habis. Pokoknya modal bisa berputar secara kontinu.
  • Menghadapi kenyataan kenaikan harga dengan pikiran positif, berkeliling menjajakan dagangan, sabar dan tekun mengais rezeki, serta pasrah tentang hasil kepada Yang Maha Kuasa.
  • Tidak gampang menyerah. Juga peduli satu sama lain dalam menghadapi keadaan sulit.

Tabah! Pedagang makanan yang memiliki ketabahan, kendati bahan baku mengalami kenaikan, sementara harga jual tetap. Mengurangi takaran dalam rangka menyiasati situasi sulit dengan caranya sendiri.

Kata orang-orang pandai, mereka memiliki daya lenting. Mampu beradaptasi dengan situasi sulit. Resiliensi.

Maka, tidak ada ruginya apabila ketika bertemu dengan pedagang makanan semacam itu, kita mengutamakan membeli barang dijajakannya. Berapa pun jumlahnya adalah rezeki bagi mereka.

***

Catatan: artikel ini bukan generalisasi, tapi kesimpulan terkait dengan penjual mi dan bubur ayam tersebut di atas saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun