Tiap naik kereta api kelas ekonomi di era sebelum Jonan, sempat membeli pecel dari asongan yang berebut masuk gerbong saat berhenti di stasiun Madiun.
Atau, mendompleng KRL --bukan beli tiket di loket resmi, tapi membayar seikhlasnya di atas gerbong---berdesakan menuju tujuan paling akhir. Di emperan peron stasiun Kota Jakarta terdapat banyak pedagang pecel.
Apakah dari kota brem atau bukan, tidak masalah. Terpenting sajian dan rasa ditawarkan serupa dengan pecel Madiun. Bumbunya, isiannya, tempe tahu bacemnya, kemlandingan, dan rempeyek kacangnya.
Jadi, saya melakukan perjalanan berdesakan di KRL dari Bogor ke Jakarta, tidak lain dan tidak bukan, hanya untuk satu tujuan: makan pecel!
Pecel Madiun di Bogor
Beberapa hari lalu, saya mampir ke ruko dekat dengan rumah makan legendaris Kota Bogor. Pada pojok kompleks pertokoan terletak gerai penjual nasi pecel Madiun. Nah ini!
Daftar menu tidak hanya menawarkan pecel dan teman-temannya, tapi juga aneka masakan khas, di antaranya: rawon, garang asem, tahu tempe bacem, bakwan, dan aneka pilihan lauk menggugah selera.
Saya memesan segelas beras kencur dingin dan, tentu saja, nasi pecel Madiun.
Di atas piring rotan beralaskan kertas nasi tertata nasi putih, sayur matang disiram saus kacang, irisan mentimun, kering tempe, kemlandingan, kemangi, dan kerupuk gendar.
Penampilan dan sensasi rasa sesuai dengan keinginan. Makan pecel Madiun yang pas di lidah, kendati agak tidak pas di dompet.
Lebih dari harga rata-rata pecel versi Kota Bogor. Seporsi pecel komplit tanpa tambahan ditebus dengan lembaran 20 ribu. Sementara segelas beras kencur ditukar dengan uang Rp 15 ribu.
Sekali-kali tidak apa-apa, demi menebus rasa kangen kepada orang, eh, pecel Madiun.