Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Kisah di Seputar Nasi Goreng

14 September 2022   08:59 Diperbarui: 14 September 2022   10:56 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Papan menu (dokumen pribadi)

Setelah berjalan-jalan lumayan jauh, tiba saatnya beristirahat. Sebuah kedai yang tidak begitu ramai menarik perhatian.

Di papan tertulis menu nasi goreng telor (dadar/ceplok/orak-arik) dengan harga Rp 11 ribu. Ekstra pete/ati ampela menambah Rp 3000, ayam/bakso + Rp 4000, dan sosis + Rp 5000. Saya memesan nasi goreng dengan topping telur ceplok. 

Papan menu (dokumen pribadi)
Papan menu (dokumen pribadi)

Hidangan tersaji. Nasi goreng berwarna pas dengan empat iris mentimun, telur ceplok, taburan bawang goreng, dan kerupuk. Penampilan simpel yang menarik untuk dicicipi.

Suapan pertama tidak mengagetkan. Dalam arti, tidak membuat lidah terperanjat dengan rasa yang "terlalu", misalnya kelewat pedas, terlampau asin, atau kebanyakan kecap manis. Tidak terasa ganjil ketika dikunyah. Pas bumbunya. Pas rasanya. Pas takarannya.

Nasi goreng dengan harga dan rasa wajar merupakan pilihan bagi berbagai orang. Ia cocok disantap saat sarapan atau menjadi kudapan di senja. Bahkan menjadikannya sebagai "camilan" larut malam, kendati sebelumnya sudah makan.

Ada beragam kisah di seputar nasi goreng. Pengalaman saya berkenaan dengan penganan populer ini adalah sebagai berikut:

Pertama Kali

Pertama membuat nasi goreng saat kelas 6 SD atau 1 SMP, saya lupa. Bumbunya sederhana, yaitu bawang merah dan putih, cabai merah, sedikit terasi matang. Semua diulek. Ditumis lalu ditambahkan nasi putih. Tanpa kecap. Tanpa telur, bakso, atau tambahan lainnya.

Dimakan beramai-ramai. Lumayan enak, kendati agak keasinan.

Eksperimen berikutnya lebih berani. Mengganti cabai merah dengan cabai rawit. Hasilnya? Nasi goreng putih agak kehijauan. Enak dan pedas.

Pengalaman pertama mengolah nasi goreng meletakkan dasar, saya lebih menyukai nasi goreng dengan tidak terlalu banyak kecap manis. 

Makan di Restoran Bagus

Melihat menu sempat bimbang, ketika membaca tawaran bermacam makanan yang asing dalam pemahaman. Pilihan termudah adalah nasi goreng. Mata sudah akrab dengan tampilan maupun rasanya.

Porsi Besar

Seorang teman mengajak makan nasi goreng di warung langganannya. Saya memesan 1 porsi. Ia order setengahnya. Setengah?

Setelah dihidangkan, baru kelihatan bahwa nasi goreng telur dadar demikian munjung. Menggelembung memenuhi piring besar hingga nyaris luber. Susah payah ketika menghabiskannya. 

Pantas, teman saya cuma minta setengah porsi.

Di Kafe

Saat mengelola sebuah semi fine dining restaurant, nasi goreng tetap menjadi menu andalan saya. 

Dibuat lebih baik. Dimasak dengan sedikit minyak/margarin, telur, udang, potongan ayam/daging, dan tanpa micin. Ditambah sate, kerupuk udang, sambal, acar, dan garnish.

Nasi goreng tersebut merupakan menu favorit para pengunjung kafe.

Olahan Modifikasi

Usai acara keluarga, tersisa beberapa porsi nasi uduk putih. Semua orang sudah merasa cukup alias bosan dengan hidangan yang itu-itu saja.

Bila tidak dimakan dan dibiarkan sampai jangka waktu tertentu, ia akan rusak. Basi sebab bersantan. Oleh karena itu saya berpanjang akal untuk mengubahnya. Dibuat nasi goreng!

Cukup ditambahkan irisan bawang, cabai, beberapa butir telur dikocok lepas, dan ditumis, nasi uduk yang pada dasarnya sudah gurih digoreng dengan menggunakan margarin. 

Setelahnya, semua orang lahap memakan olahan hasil modifikasi tersebut.

Di Restorasi KA

Satu saat menjelang tengah malam, saya merasa sangat lapar. Mampir ke warung nasi adalah tidak mungkin, karena saya tidak punya kuasa untuk menghentikan laju kereta api.

Ke restorasi hanya untuk menemukan makanan sudah habis. Mi instan rebus atau goreng tak bakalan nendang. Namun masih tersisa sedikit nasi dan sepotong ayam. Dingin.

Untuk menghangatkannya atau mengolah menu lain, sepertinya petugas enggan melayani. Alasannya, "sudah habis. Tutup!"

Ia mengizinkan saya untuk mengolah masakan. Dengan bahan dan bumbu seadanya, saya membuat nasi goreng. Saya ulangi: memasak nasi goreng di restorasi KA!

Tak lama, seorang penumpang datang minta dibuatkan satu porsi. Ia merasa lapar karena mencium bau wangi masakan.

Lomba 17 Agustusan

Saya mengikuti salah satu lomba dalam rangka memeriahkan ulang tahun Kemerdekaan RI. Bapak-bapak adu kepandaian memasak nasi goreng.

Panitia menyediakan bumbu-bumbu. Saya membawa telur, teri Medan matang, dan chicken powder yang saya bawa dari kafe. Tak pakai micin.

Nasi goreng teri dengan orak-arik telur itu menjadi favorit ibu-ibu dan menjadi juara dua. Gelar pemenang utama disabet Pak RW dengan nasi goreng yang penuh dengan hiasan berwarna-warni.

Makan di Rumah Teman

Seorang kawan lama mengundang saya agar datang ke rumahnya. Ia berkeras ingin mendiskusikan proyek perdana yang bisa jadi dapat mengubah hidupnya.

Sama-sama memeras otak dalam waktu lama, tiba saatnya perut minta diisi. Sadar diri, sang teman membuat nasi goreng dengan bumbu lebih banyak bawang merah dibanding bawang putih. Meskipun bersahaja, hanya ditambah kerupuk putih, ternyata enak. Sesuai dengan selera saya. 

Sebelum pulang, ke dalam kantong kemejanya saya menyelipkan lembaran, "untuk beli garam agar anak-anak tambah sehat."

'Garam' adalah bahasa halus untuk membeli bahan bergizi, seperti telur, ayam, tempe, dan semacamnya.

Akhirul Kata

Ternyata banyak kisah bertautan di sekitar nasi goreng dalam melintasi suka duka kehidupan. Sampai kini ia masih menjadi menu favorit saya.

Nasi goreng adalah pilihan mudah yang ramah di lidah, asalkan dimasak dengan tidak menggunakan terlalu banyak minyak, tanpa micin (atau tidak terlalu banyak penyedap sehingga membuat enek), sedikit kecap manis, tidak keasinan, tidak keras. Pedas atau tidak, saya menerimanya dengan lapang dada.

Favorit saya: nasi goreng dengan racikan "tidak terlalu". Yang sedang sedang saja. Seperti halnya perjalanan hidup saya.

Bagaimana dengan nasi goreng kesukaan Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun