Apes dah! Omzet lagi bagus-bagusnya, warung kopi dan jajanan terpaksa harus ditutup. Padahal tinggal menunggu balik modal. Harus bagaimana lagi?
Membuka usaha warkop menyimpan cerita keberhasilan, sekaligus tenggelamnya, menjadi pelajaran tersendiri. Sekian tahun lalu.Â
Periode awal menjalankan bisnis konstruksi, saya sempat membangun usaha warung kopi. Kecil. Hasilnya mungkin tak seberapa.
Saya mendapat tawaran untuk mengisi satu kios kosong. Satu sisi menghadap ke arah jalan adalah jendela bisa dibuka melebar ke atas. Pintu masuk dari samping.
Ke arah belakang berderet empat pintu. Penghuni kontrakan itu menggunakan kamar mandi umum di bagian paling ujung. Di sampingnya terdapat lima pintu kontrakan lebih besar dengan kamar mandi dalam. Diselingi jalan kerikil untuk keluar masuk sepeda motor dan hilir mudik penghuni.Â
Bagian depan berukuran terbesar adalah warung internet (waktu itu tahun 2009) yang ramai dikunjungi anak-anak bermain game dan mereka yang memerlukan koneksi kencang. Pemilik kontrakan menempati rumah kecil yang tidak tampak dari jalan.
Semua tempat terisi, kecuali kios di depan. Konon tadinya ditempati penjual nasi rames. Atau nasi uduk dan gorengan?
Tidak ada informasi valid mengenai Itu. Kemudian ia bangkrut tidak bisa membayar biaya sewa. Selanjutnya tidak ada lagi yang menempati.
Kios dan kontrakan berada di dalam. Tidak mudah terlihat dari jalan. Umumnya para pelintas baru menyadari keberadaan warung sesudah melewati. Warkop laku biasanya berada di sisi jalan ramai.
Desakan teman, yaitu pemilik kontrakan, dan harga sewa bulanan murah membuat saya menyerah.