Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menepi di Ruang Paling Sunyi

18 Juli 2022   05:57 Diperbarui: 18 Juli 2022   06:02 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadis bergaun putih oleh Chuotanhls dari pixabay.com

Suasana ganjil menyergap, kala pertama menepi di ruang paling sepi. Bisik angin pada dedaunan. Gendang dalam kepala menyerap nada hampa tanpa suara.

Ambisi menggebu-gebu mengantarkannya ke dataran panas penuh bangunan yang pucuknya menggapai langit. Jalanannya pun bukan dari batu-batu atau tanah dipadatkan, tetapi hamparan mulus berwarna hitam.

Hiruk-pikuk. Raungan mesin. Mobil-mobil berlomba dengan auman sekumpulan sepeda motor. Melesat melepaskan asap menyisakan serapah. Klakson-klakson menjerit, menyingkirkan penyeberang jalan lamban yang bertumpu pada tongkat.

Di depan sebuah bangunan menjulang ia berhenti. Memastikan bahwa huruf-huruf tercetak di kertas telah sesuai dengan aksara raksasa pada jidat gedung megah itu.

Sebuah ruang kaku mengalirkan dingin pada lantai tertinggi gedung;

"Hey sobat, berharap ada kabar kemajuan di kampung halaman kita," sosok tambun berbungkus Hugo Boss mengulurkan tangannya. 

"Ya ... segalanya masih berlangsung statis. Matahari tampak jenuh, bangkit setiap hari dari timur menuju horizon barat."

Berbeda dengan kota besar, matahari kembar berpendar 24 jam. Siang menyiram cahaya alami. Sinar artifisial memoles malam dengan segala kepalsuannya.

Pria tambun memandang tajam pria kurus di hadapannya, "berarti, di sana engkau tidak menghasilkan apa-apa?"

"Ya, kecuali keringat yang tak sempat mengering."

"Baik. Terpenting engkau punya ambisi dan kemauan kuat."

Harapan bersemi.

"Begini, baiknya engkau memegang teguh satu prinsip: jangan menjadi medioker agar sukses di kota besar. Jadilah orang sangat baik atau jahat sekali!"

Pria kurus mengangguk tulus.

"Ikuti instruksiku," pria tambun menerangkan pokok-pokok pekerjaan yang harus dijalankan, tanggung jawab, dan aturan main.

Dalam perjalanan, pria kurus mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan. Karier melesak cepat. Melebihi kolega yang lebih dahulu datang.

Tidak butuh waktu lama, pria kurus menjadi kepercayaan utama dari bendaharawan sebuah partai besar, di sebuah republik yang pasti bukan Republik Indonesia.

Tibalah saat mendekati pemilu serentak. Rakyat memilih wakilnya di parlemen, juga kepala daerah dan kepala negara dalam selang waktu sama.

"Partai butuh uang banyak. Sangat melimpah untuk mengongkosi pembelian suara bagi banyak calon," pria tambun menatap wajah pucat pria yang sudah tidak kurus lagi.

Gambar diolah dari kutipan oleh Boni Hargens (dokumen pribadi)
Gambar diolah dari kutipan oleh Boni Hargens (dokumen pribadi)

Ia berpikir keras, mengingat isi pembicaraan lampau. Di ruang mewah yang sama. Di gedung megah yang juga sama.

"Apa yang engkau pikirkan lagi? Segera operasional-kan sesuai peta-jalan yang sudah kita buat!"

Dengan gesit pria yang sudah tidak kurus lagi menggali uang dari sumber-sumber yang mustahil disebut sah. Pekerjaannya sistematis. Memenuhi kaidah pengumpulan uang dalam senyap. Juga tidak tercatat pada kertas mana pun di seluruh wilayah negeri maupun di dalam memori komputer.

Akan tetapi ia melupakan satu hal: bahwa neraca keuangan senantiasa jujur. Lama-lama timbangan menjadi timpang. Tidak seimbang.

Pemeriksa lapis pertama bisa disumpal. Pemeriksa lapis kedua, ketiga masih mau menelan uang haram. Namun kecurigaan atas kecurangan tidak dapat disamarkan dari pandangan jeli para pengamat dan rakyat.

"Engkau segera menyingkir lah. Aku tidak mampu lagi melindungi dari pantauan. Bagaimanapun partai harus bersih."

"Tapi.... Instruksi awal datangnya dari ruangan ini?"

"Tidak ada catatan dan rekaman perihal itu. Perbuatan curang di negeri ini hukumannya amat berat," pria tambun menegaskan, seraya membuka pintu jati dan mengarahkan telapak tangannya ke arah luar.

Pria yang sudah tidak kurus lagi, tapi mulai kurus kembali, memikirkan segala kemungkinan memusingkan kepala. Hingga tiba saat memilih malam paling kelam, mengendap-endap, menyelinap di antara hunian telah lelap.

Ia berhasil mengelabui CCTV yang recorder-nya mendadak rusak, pengamatan petugas (yang sebagian terpaksa ia tutup matanya dengan lembaran-lembaran merah), dan pandangan umum. Sehingga pria yang sudah tidak kurus lagi, tapi mulai kurus kembali itu tiba di tujuan.

Bukan pulang ke kampung halamannya, tetapi di lokasi paling tepi. Tempat paling sepi di antara ruang paling sunyi, di mana tiada satu pun manusia yang sanggup tinggal di sana.

Suasana ganjil menyergap, kala pertama menepi di ruang paling sepi. Bisik angin pada dedaunan. Gendang dalam kepala menyerap nada hampa tanpa suara.

Pria yang semakin kurus, tampak kian meninggi, duduk di pokok pohon patah. Menarik napas lega. Ia berhasil menghindar dari kejaran banyak pihak dan upaya pencarian semua media.

Tempat tepi paling sepi dari sisi bumi yang paling sunyi. Tiada lagi hal yang membuatnya takut. Bahkan jika gendruwo, kuntilanak, hantu paling mengerikan datang menghampiri, tidak bakal mendirikan bulu kuduknya.

Tiba-tiba bayangan berbaju putih kusut dengan sayap patah berkelebat. Pria tinggi kurus bersiap-siaga.

Cahaya bulan yang samar menerangi sepotong wajah murung. Dari kulit mulus yang pualam terdengar helaan napas, "boleh duduk di sampingmu?"

Pria tinggi kurus tercengang, lalu mengangguk. Gadis bergaun putih dengan sayap-sayap patah, sekali lagi, menarik napas dalam-dalam dan berkata lirih.

Gadis bergaun putih oleh Chuotanhls dari pixabay.com
Gadis bergaun putih oleh Chuotanhls dari pixabay.com
"Sepertinya kita senasib. Oh ya, Kalau boleh tahu, siapa nama kamu?"

Pria kurus menyambut tangan halus, "namaku Nurah....... Nurah Ukisam. Awas, jangan dibalik!"

Tangan mulus gadis bergaun putih dengan sayap-sayap patah menggenggam erat, "aku, Dewi. Lengkapnya..... Dewi Keadilan."

Kehangatan perlahan mengalir di antara mereka. Mencairkan beku pada malam paling sendu. Di tempat tepi paling sepi dari sisi bumi yang paling sunyi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun