Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Home Pilihan

Biasa Hidup Minimalis, Bukan karena Tren

11 Juli 2022   19:58 Diperbarui: 11 Juli 2022   20:08 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah makan nasi dengan seperempat telur rebus? Dengan kecap? Atau dengan garam? Pakai baju lungsuran? Buku bekas kakak kelas? Kaos kaki pakai karet?

Masih banyak permisalan. Mereka yang sempat hidup di zaman di mana iklan hanya dapat didengar di radio, atau dilihat di surat kabar, dapat menceritakannya lebih lengkap.

Pada tahun 1975 membeli sepeda motor bebek C 70 anyar "hanya" seharga Rp 300 ribu. Kemewahan lain yang menghiasi rumah adalah radio tabung dan mesin jahit Singer. Bayar kontan alias tunai, tanpa ada fasilitas kredit konsumsi, untuk mendapatkan benda-benda itu.

Kulkas, televisi hitam putih, dan stereo set hanya ada di rumah keluarga berada.

Rasanya kebanyakan orang hidup apa adanya. Bukan karena kekurangan, tapi tidak ada gerakan saling merangsang untuk membeli barang kebutuhan secara berlebihan. Umumnya disesuaikan dengan keperluan dan, tentu saja, kekuatan finansial.

Mungkin saja saat itu korupsi demikian terpusat. Hanya ada di sekitar "langit" kekuasaan.

Maka pegawai negeri seperti ayah saya tidak memiliki banyak barang, selain cukup untuk hidup sehari-hari, dan bisa sedikit menabung.

Oleh karena itu, bukan sesuatu yang mencengangkan bila hidup sesuai keadaan --kata generasi sekarang: gaya hidup minimalis.

Bukan karena tren. Bukan ikut-ikutan. Tapi sebab sudah terbiasa.

Cerita berbeda saya peroleh ketika mengantarkan seorang kerabat berkunjung ke pusat perbelanjaan. Banyak barang dibeli, saya tidak yakin ia akan menghabiskan mereka dalam waktu singkat.

Seorang penjaja menawarkan paket roti merek tersohor. Ia mengambil dua, masing-masing terdiri dari tiga roti manis dan satu tempat makan.

"Warnanya lucu-lucu," demikian alasan ketika membelinya. Bukan karena tidak punya kotak makan yang bisa dibawa ke kantor. Di rumah ia memiliki aneka ragam persediaan lunch box. Beragam model dan warna.

Saya memperoleh pengetahuan tersebut setelah sampai di rumahnya. Banyak barang di rumah minimalis tersebut. Tahu kan, hunian sekarang umumnya tidak luas?

Syahdan, mobil panjang disimpan di carport bersama satu motor matik dan tiga motor trail. Masuk ke ruang tamu, hanya ada satu kursi. Selebihnya dipenuhi oleh onderdil (sparepart motor dan mobil).

Ia menjadikan dapur menjadi semacam gudang, berisi berbagai peralatan, sepatu, dan dokumen. Tempat memasak pindah ke belakang dengan menutup ruang terbuka (taman kecil).

Alhasil, pada siang hari memperoleh penerangan dari lampu LED. Pendingin ruangan terus menerus mengatur sirkulasi ruangan.

Rumah minimalis menjadi sesak. Berantakan dengan terlalu banyak barang yang terlanjur sulit diatur.

Kawan satu itu beberapa kali membebaskan diri dari suasana berantakan atau kekacauan (clutter). Benda-benda tidak terpakai, biasanya masih layak pakai, dikeluarkan. Diberikan kepada mereka yang memerlukan.

Sepanjang punya tenaga dan waktu, melakukan decluttering dengan mudah. Kapan saja rumah dirasa sesak, dengan ringan ia minta bantuan pegawai di kantor untuk membereskan barang-barang. Merapikan dan mengalihkan benda tidak terpakai ke orang lain. Atau dibuang ke tempat sampah.

Lama-kelamaan, menggampangkan melakukan decluttering, apabila ia merasa rumahnya sesak penuh barang.

Alangkah baiknya bila jauh sebelum itu membiasakan diri menimbang-nimbang ketika hendak mengadakan perabotan.

Sebelum membeli barang seyogianya bertanya kepada diri sendiri tiga perkara:

  1. Apakah benar-benar akan menggunakan barang tersebut?
  2. Apakah memang barang itu istimewa, sehingga tidak dapat menahan diri untuk tidak menyukainya?
  3. Apakah betul demikian memerlukannya?
  4. Perlukah mengambil demikian banyak makanan, jika tidak semuanya dimakan?
  5. Sebelum mengambil terlalu banyak, apakah semua orang sudah cukup memperoleh makanan?

Artinya, apabila benda kurang fungsional dalam tujuan penggunaannya atau penting untuk dimiliki, atau malah sudah ada barang dengan guna serupa, besar kemungkinan item tersebut akan menumpuk. Tahan diri sejenak !

Jangan sampai memberantakkan ruangan di rumah. Melahirkan kekacauan baru. Mengganggu pikiran dengan hal-hal tidak produktif.

Tidak hanya berlaku untuk pembelian barang, hidup minimalis juga diterapkan bila hendak membeli makanan. Hindari menyisakan dan menyia-nyiakan makanan (food waste). Di luar sana orang-orang kelaparan.

Kebiasaan menahan diri sejenak sebelum membeli barang, atau memindahkan makanan dari meja ke piring, merupakan awal dari berpikir minimalis. Bukan pelit.

Berlaku apa adanya sebagaimana cara berpikir orang zaman TV masih hitam putih. Menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan lingkungan, terlepas dari soal kemampuan finansial.

Jadi, berpikir dan menjalankan gaya hidup minimalis adalah karena terbiasa, bukan sekadar mengikuti tren yang sedang berkembang. Hidup pun lebih tenang dan fokus kepada tujuan. Begitu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun