Menghitung sepintas, ada sekitar 30 bungkus lauk pauk dan sayur masak. Gulai telur bulat, soto kuning, ikan asin dicabein, teri kacang, tempe orek, tumis oncom, buntil, tumis daun pepaya, jengkol balado, dan sebagainya. Masing-masing jenis ada dua sampai empat bungkus plastik.
Saya membeli buntil, telur, oncom, sayur sup, dan tidak lupa: jengkol!
Strategi Menghampiri Pembeli, Bukan Menunggu Warung
Tadinya, persoalan utama pria murah senyum ini adalah memperoleh penghasilan sah sebagai kepala keluarga.
Ia kesulitan memperoleh pekerjaan. Juga memiliki hambatan serius untuk menyewa, mengisi perlengkapan, dan modal kerja usaha warung makan.
Dalam situasi kepepet, terbersit gagasan cemerlang. Daripada bertopang dagu merenungkan hambatan dalam modal warung, ia memanfaatkan motornya sebagai wahana usaha.
Hasil keterampilan istrinya dibawa di atas sepeda motor dan ditawarkan kepada pegawai-pegawai kantor di sekitar Taman Kencana hingga Sempur. Selain lauk pauk dan sayur matang, ia juga membawa nasi putih.
Harga ditawarkan cukup murah, dari Rp 7 hingga 10 ribu. Saya tidak tahu perincian harga masing-masing. Namun boleh dibilang, harga jualnya sedikit lebih murah dibanding barang serupa di warung makanan.
"Ada untungnya?"
"Masih ada. Biayanya operasionalnya kecil. Cuman bensin. Irit pula."
Saya membayar sebungkus berisi dua butir telur seharga Rp 8 ribu. Buntil Rp 7 ribu. Lainnya lupa. Enam atau tujuh macam masakan tersebut ditebus senilai kurang dari Rp 50 ribu.