Sebelum memutuskan melanjutkan sekolah di rantau, ada baiknya menimbang banyak hal. Terutama menakar kemampuan orang tua.
Kendati mereka akan selalu committed mendukung penerusnya untuk menggapai pendidikan setinggi langit. Dalam diam.
Ada masa menjelang akhir, teman-teman SMA berpikir untuk melanjutkan sekolah di luar kota. Pokoknya jangan mendem di Kota Bogor. Titik!
Maka beramai-ramai memilih universitas di lain kota, melalui Sipenmaru (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru). Atau berangkat untuk mengikuti mekanisme saringan masuk di perguruan tinggi swasta.
Kecuali mereka yang beruntung masuk IPB karena PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan).
Demikian yang terjadi pada tahun 1982-an. Entah alasan apa yang mendasari.Â
Saya terseret arus dan tidak berpikir dengan matang. Memilih meneruskan pendidikan tinggi di rantau. Di Bandung.
Orang tua saya adalah pegawai negeri sipil. Meski berada pada golongan lumayan, jangan disamakan dengan pendapatan PNS di masa kini.Â
Kedudukan disandang pun tidak menjamin ayah saya makmur. Menyalahgunakan jabatan tidak ada dalam kamus beliau.
Tidak kurang. Juga tidak berlebihan. Cukup. Namun membiayai putranya yang badung ini hidup di rantau tentunya cukup merepotkan.
Bagusnya saat itu biaya kuliah per-semester sangat murah. Jauh beda dengan ongkos sekolah di perguruan tinggi swasta.Â
Bagusnya lagi, ada kakak kandung dari ibu di Kota Kembang itu. Saya boleh menumpang tinggal di rumahnya.
Dua hal di atas secara bermakna dapat mengurangi biaya rantau. Namun di luar itu, orang tua saya tetap harus mengirimkan kebutuhan biaya bulanan, beli buku, dan beban lainnya.
Mereka tidak pernah mengeluhkannya. Bisa jadi ada hal yang tidak saya mengerti pada waktu itu, misalnya dengan mengurangi komponen biaya rumah tangga.
Sayangnya saya baru memahami dalam waktu jauh dari itu. Setelah menjalani hidup berumah-tangga.
Berkaca dari pengalaman tersebut di atas, berikut saya sajikan beberapa hal sehubungan dengan melanjutkan sekolah di lain kota. Juga sedikit tips merantau bagi mereka yang hidup jauh dari orang tua.
1. Menakar banyak hal yang mempengaruhi keputusan merantau. Jangan memastikan dalam keadaan emosional atau terpengaruh kawan.
2. Konsultasikan keinginan merantau kepada orang tua. Restu mereka adalah kunci kelancaran melanjutkan sekolah.
3. Pelajari kemungkinan-kemungkinan, umpamanya: memang tiada pilihan selain merantau.
Apabila pilihan terakhir adalah merantau, seyogianya memperhatikan hal-hal berikut:
- Mengutamakan belajar dengan cara terbaik agar cepat lulus dengan nilai membanggakan.
- Memanfaatkan perpustakaan kampus. Sedikit banyak dapat mengurangi pembelian textbook.
- Hindari kegiatan yang sekiranya menambah biaya, seperti hang-out mengikuti the haves.
- Kalaupun ingin berkegiatan, ikut dalam kepengurusan himpunan mahasiswa, senat. Atau turut dalam unit kegiatan di kampus. Itu akan memperkaya pengalaman berorganisasi dan mengembangkan minat.
- Bijaksana dalam bergaul dengan siapa saja. Artinya, tidak larut dan ikut melakukan aktivitas merugikan di kondisi apa pun.
- Berhemat dalam pengeluaran. Atau sebab yang menambah biaya harian, misalnya merokok.
Oh ya, satu lagi. Bila memungkinkan, mencari tambahan penghasilan secara halal. Misalnya, menulis yang mendatangkan imbalan.
Seorang teman kerap menulis artikel. Beberapa kali ia memperoleh honor dari Harian Prioritas (milik Surya Paloh; sudah dibredel di zaman Orba).
Lain waktu, perantau dari Aceh itu mengalih-bahasakan textbook ke bahasa Indonesia. Atas jerih payahnya ia memperoleh bayaran dari penerbit lokal.
Boleh dikata, melanjutkan sekolah di rantau merupakan proses menakar berbagai hal yang berkaitan. Jikalau harus merantau, baiknya perhatikan tips merantau di atas.
Melanjutkan pendidikan dengan merantau adalah satu jalan demi meraih cita-cita mulia. Bukan sekadar pelarian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H