Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak Perlu Ikut Menertawakan Profesi Tukang Bakso

24 Juni 2022   08:57 Diperbarui: 24 Juni 2022   09:06 1759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Megawati memberikan pidato di rakernas PDIP (KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)

Abaikan kelakar Mega, "ketika saya mau punya mantu, itu saya udah bilang sama anak saya tiga; awas lho, kalau nyarinya yang kaya tukang bakso."

Olok-olok dalam pidato pembukaan rakernas PDIP Selasa (21/06/2022) menuai kecaman dari warganet. Dianggap rasis, selain merendahkan profesi tukang bakso. Maka, tagar 'tukang bakso' dan 'Papua' ramai mencuit di jagat Twitter (sumber).

Gurauan tentang tukang bakso merepresentasikan sikap menarik batas, antara kelompok elite dengan golongan rakyat. Pengamat politik Ray Rangkuti menilai, slogan selalu memperjuangkan wong cilik tidak merasuk dalam visi pribadi dan sikap sebagai politikus (sumber).

Tapi, benarkah profesi tukang bakso demikian buruk secara ekonomi, sehingga dia tidak mau menjadikannya sebagai mantu?

Jangan mudah menilai tukang bakso pikulan yang sepertinya terseok-seok menjajakan dagangannya. Menjual bakso membutuhkan keuletan dan modal tidak sedikit.

Pedagang bakso sedikitnya memerlukan 1 kilogram daging sehari. Ditambah tepung, bumbu-bumbu, biaya giling, dan kondimen. Mengecualikan mereka yang menjualkan produk bakso milik orang lain.

Bisa jadi awalnya hanya 1 kg. Lama-lama meningkat, menjadi 3 kg, 6kg, 10 kilo, bahkan 1 kuintal dalam sehari. Artinya, penjualan daging bulat merupakan perputaran uang yang tidak dapat diremehkan. Tidak dapat dijadikan bahan olok-olok.

Pertengahan tahun 1990-an saya kerap membeli bakso di sebuah sudut jalan. Belum lama buka, tetapi penjual menyajikan bakso dengan rasa jempolan.

Saat itu ia menyewa tempat di halaman sebuah rumah. Lokasinya strategis, terletak di dekat perhentian angkot. Semakin lama semakin laris. Sampai ia harus memperpanjang biaya kontrak.

Ternyata untuk tahun berikutnya, nilai sewa tempat naik tajam. Tidak sanggup meneruskan, maka pedagang bakso pindah ke lokasi yang biaya sewanya terjangkau. Lahan baru berada di pelosok. Bukan di tepi jalan ramai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun