Dalam selipan paling rahasia di tas pinggang terdapat beberapa lembar uang berwarna merah. Sementara pada bagian yang gampang diraih terdapat uang pecahan, paling besar bernilai Rp 50 ribu.
Lembaran-lembaran dengan nominal lebih kecil itulah yang kerap dipakai untuk bayar ongkos angkot, ojek, dan untuk keperluan lain. Namun ketika bermunculan godaan jajanan, maka uang tersebut cepat melayang.
Itu kalau dalam keadaan normal, dalam arti tidak ada pembayaran tunai dalam jumlah melebihi seratus ribu rupiah. Maka uang receh digunakan untuk jaga-jaga, bila ada keperluan remeh.
Sebetulnya belakangan ini saya nyaris tidak menggunakan uang tunai. Ongkos ojek online, pembayaran tagihan bulanan (pemakaian listrik dan semacamnya), serta belanja di toko ritel umumnya memakai uang dari dompet digital.
Sarapan, makan siang, sampai dinner, eh, makan malam sudah terpenuhi di rumah. Tidak ada alasan cukup untuk mengeluarkan uang tunai.
Persoalannya adalah godaan mencicipi aneka jajanan, yang tersedia di gerobak pinggir jalan hingga rumah makan. Gado-gado, gorengan (sekarang dikurangi), mi gleser, bakso, ketoprak, doclang, sampai soto.
Pendek kata, para jajanan tersebut senantiasa melambaikan tangan agar dihampiri. Lantas dibeli.
Itulah yang membuat persediaan uang receh di dalam tas pinggang lekas surut. Kalau sudah habis, maka –mau tidak mau—memecah uang berwarna merah, apakah dengan cara menukar atau membelanjakannya.
Lucunya, begitu dipecah, uang seratus ribu tersebut menyusut dengan cepat. Tinggal dua puluh ribu, ditemani oleh pecahan logam. Berbeda cerita ketika ia masih berbentuk lembaran seratus ribu. Relatif lebih bertahan lama dengan segala cara.
Satu misal, selain dieman-eman dalam penggunaannya, saya khawatir tidak ada uang kembali ketika membeli sesuatu di Mamang Penjual Doclang pikulan.