Menggunakan uang pas atau bernilai kecil demikian enteng keluar dari tas pinggang, ketika membeli dua buah gorengan. Juga menukar sepiring gado-gado di warung Umi.
Pedagang kecil pun lebih suka mengantongi pembayaran dengan uang pas atau menerima uang yang dapat dikembalikannya. Bisa jadi jumlah uang di laci gerobak, sebagai representasi dari hasil penjualan, tidak cukup menutup kembalian.
Alasan-alasan di atas dan berbagai dalih yang mendasari, membuat saya merasa eman (menganggap sayang), bila uang seratus ribu pecah menjadi beberapa lembar uang bernilai lebih kecil.
Dalam situasi itulah saya “insaf” dalam menimbang, apakah barang itu diperlukan atau tidak. Lain keadaan ketika jajanan tersebut merupakan substitusi dari salah satu jadwal makan, kendati saya jarang mengalaminya.
Manakala uang seratus ribu sudah dipecah, tiba-tiba bermunculan keinginan untuk membeli siomay, bakso, mi ayam, dan kawan-kawan. Nafsu jajan akhirnya menjadi kendali dalam mengeluarkan uang.
Jadi uang nominal besar yang dikonversi menjadi lembaran bernilai lebih kecil akan mudah cair, bukan karena terbang sendiri menuju awang-awang. Bukan.
Namun karena adanya keinginan tidak terkendali dalam membelanjakan uang, dengan angka yang lebih diterima oleh umumnya pedagang.
Jangan membuat keputusan finansial hanya berdasarkan desakan sesaat semata. Bukankah kita mempunyai rencana keuangan, betapa pun sederhananya?
Bayangkan, andai saja nafsu tersebut berkuasa saat kita memegang tidak hanya selembar seratus ribu rupiah, tetapi berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus helai. Bakal royal dah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H