“Tak mengapa menjadi istri kedua,” kilat mata bahagia berkelebat menusuk jantung. Pria di hadapannya menyemburkan cairan pahit baru ditelan.
Seketika bayu bertiup. Daun-daun melayang pasrah. Menyerah kepada pelukan tanah yang merindukannya sebagai penyubur. Juga penghancur.
“Apa katamu?”
Wanita menawan menaikkan alis. Bibir tipis membentuk bulan sabit. Pria tampan senantiasa memimpikan membasahi bibir belah berwarna kemerahan nan menggoda.
“Aku terlalu mencintainya.”
Begitulah. Pria tampan bertemu wanita menawan di satu gazebo menapak awan impian. Terpisah jauh dari bangunan induk.
Tidak sekali ini saja. Berkali-kali, pada perjumpaan-perjumpaan penuh kebahagiaan maupun derai air mata.
Dua puluh empat bulan sabit telah terbit, kala wanita menawan datang bersama mendung. Mencurahkan hujan pada dada bidang. Pria tampan memeluknya dengan kasih tanpa jeda.
Wanita menawan bukan hanya menduga selain dari hanya memastikan bahwa suaminya telah mengkhianati cintanya. Berbagi bahtera kehidupan bersama wanita lain.
Ia memerlukan kecerdikan pria tampan untuk memperoleh bukti-bukti tidak terbantahkan, mengenai hubungan terlarang itu.