Selepas SMA mereka telah menghabiskan ratusan lembar: salinan ijazah yang telah dilegalisir, fotokopi KTP serta Surat Keterangan Kelakuan Baik, pasfoto empat kali enam atau empat kali tiga, dan berkas riwayat hidup. Juga perangko dan amplop cokelat.
Terlalu mahal bagi mereka berdua dengan kondisi keuangan orang tua yang kembang kempis. Terlalu percuma waktu terbuang demi menunggu balasan yang tak kunjung tiba.
Di sela-sela waktu tunggu, dua pemuda mencoba mencari penghasilan dengan berusaha. Menjual es limun, berakhir. Berdagang kopi seduh, sudah. Menanam kangkung tak tumbuh. Beternak ikan atau ayam, tak bermodal. Menjadi tukang parkir, baru tiga hari dipalak preman.
Terbang sudah semangat mereka.
Ketika hendak mengibarkan bendera putih, seorang pria --yang wajahnya tertutup bayangan topi lebar dari anyaman bambu---mengetuk-ngetuk lantai dengan tongkat rotan.
"Huss sana pergi, Pak Tua!"
Pak Tua bergeming, lalu berujar, "pergilah ke timur agar tahu cara menjadi kaya?"
Bagaskoro dan Dhananjaya saling berpandangan. Tanpa melepaskan capingnya, Pak Tua menarik kursi.
"Minta minum!"
Tergopoh-gopoh Bagaskoro mengambil gelas lantas mengisinya dengan teh tawar hangat dari teko aluminium.
Selanjutnya Pak Tua berkisah tentang sebuah makam keramat yang dipayungi pohon Dewandaru. Barang siapa yang ber-hening dengan khusyuk selama tiga hari tiga malam di bawah pohon berkah itu, kemudian kejatuhan ranting atau buahnya, maka akan dimudahkan jalan menuju kekayaan.