Banyaknya orang melintas dan lahan lebar serta lingkungan sejuk merupakan syarat ideal untuk berjualan.
Di atas jalur hijau dan tepi jalan terdapat beberapa penjual aneka barang dan makanan. Dari lampu pengatur lalu lintas menuju utara ada:
- Gerobak penjual rujak ulek dan asinan.
- Penjual ikan cupang dan ikan hias lainnya.
- Lapak buah pepaya matang.
- Mobil yang memajang pakaian (setelan) anak.
- Minibus tempat menjual celana pendek.
- Kaos kaki seribu tiga yang digelar di atas jalur hijau.
- Pedagang nanas madu, jambu biji, semangka, dan buah musiman (duku Palembang, jeruk impor, mangga).
- Duren di atas bak mobil pick-up.
- Bubur ayam, minuman dingin dan kopi seduh.
- Penjual masker dan, kadang, sandal kulit sampai baju dewasa.
Posisi para pedagang itu berjauhan, sehingga kesan kumuh tidak tampak. Lawan utamanya adalah hujan. Juga petugas ketertiban kota, kendati sekarang mereka sangat jarang muncul di lokasi tersebut.
Izin berjualan secara khusus tidak ada. Mereka yang akan berjualan meminta permisi kepada pedagang sekitar yang lebih dahulu ada. Atau bisa minta perkenan dan pemberitahuan kepada satpam kantor. Lahan tersebut berada di depan lahan kantor yang memanjang.
Tidak ada biaya sewa. Pun biaya preman yang memungut uang demi "kebersihan" dan "keamanan" lingkungan. Tidak ada. Entah bila kelak menjadi semakin rapat dan melibatkan perputaran uang yang menggiurkan.
Seorang pengendara motor berhenti. Bertanya kepada pedagang ikan, kepada siapa harus minta izin dan membayar "biaya" lapak? Ia bermaksud menjual nangka matang yang sudah dikupas.
Pedagang ikan memastikan, selama ini tidak perlu membayar apa-apa kepada siapa pun. Asalkan permisi atau minta perkenan kepada pedagang yang lebih lama. Juga menjaga kebersihan tempat.
Saya menginterpretasikan mereka sebagai pekerja (pengusaha) informal, sesuai dengan batasan-batasan yang disebutkan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (sumber).