Menjelang Idul Fitri, saya tidak berani mengunjungi Pasar Anyar Kota Bogor. Kayak cendol! Para pedagang dan pembeli bercampur baur seolah menjadi satu, jika dilihat dari kejauhan.
Berbeda dengan keadaan setelah lebaran.
Kemarin, pada hari keempat bulan Syawal, saya jalan-jalan ke pasar tradisional itu. Tidak seperti biasanya yang melalui jalan besar, kali ini saya menempuh perjalanan menyusuri gang lalu pada ujungnya melintasi jembatan di atas rel kereta (KRL).
Kondisi Pasar Anyar tampak tidak sepadat sebelum lebaran, bahkan tidak seramai hari biasa. Dengan keadaan jual-beli yang belum normal, saya percaya diri untuk masuk lebih dalam.
Padahal jam digital di telepon genggam menunjukkan angka tujuh pagi lewat sedikit. Mestinya sudah berada di jam sibuk.
Biasanya banyak orang, sepeda motor, dan angkot berebut jalur. Ditambah lapak para pedagang yang mengambil sebahagian besar badan jalan. Ternyata tampak sepi.
"Yang berdagang baru ada seperempat. Mungkin masih lebaran atau di kampung halaman," ujar seorang pedagang buah salak dan buah naga.Â
Menurut penuturannya, ia telah mudik ke Leuwiliang (berjarak kurang dari 25 km dari Pasar Anyar Kota Bogor). Makanya sudah berjualan.