Lebaran. Pagi 1 Syawal 1443H. Seusai shalat Ied di satu lapangan, jamaah saling bersalaman. Saling berucap, "maaf lahir batin." Salat sunah pada setiap Idul Fitri menghadirkan suasana gembira yang akrab di kalangan peserta, kenal maupun tidak.
Besar peluang bertemu dengan tetangga, karena letak lapangan berada di tengah-tengah kompleks perumahan. Maka tradisi berkunjung saat lebaran, sedikit banyak, terwakili dalam sebuah koinsidensi.
Praktis bagi mereka yang memiliki rencana padat di hari itu. Tidak seperti semangat bersilaturahmi di kampung halaman.
Persuaan tidak meliputi semua tetangga, dengan berbagai cerita. Kemudian tradisi saling berkunjung masih dilakukan. Pada setiap anjangsana mau tidak mau menerima ajakan tuan rumah untuk mencicipi hidangan khas lebaran:
- Kue (kastengel, nastar, dan kawan-kawan).
- Sirup dan air mineral.
- Ketupat.
- Opor ayam.
- Rendang.
- Sambel goreng ati.
- Lontong sayur.
- Dan sebagainya, sesuai kekhasan hidangan lebaran di daerah masing-masing.
Di dalam lingkungan sama, jenis hidangan khas lebaran nyaris serupa di setiap rumah dimampiri. Seragam, dan sudah dapat dibayangkan tanggapan indra perasa terhadapnya. Jadi, acara lawatan ke tiap-tiap rumah tetangga ditutup dengan minum air mineral kemasan gelas plastik. Cukup.
Acara makan yang sesungguhnya adalah di rumah sendiri. Satu hidangan yang hanya dibuat setahun sekali. Setahu saya, juga tidak tersedia di pasaran.
Topak Ladheh. Sajian khas lebaran bagi warga Bangkalan, Madura. Atau seminggu setelah hari raya. Mereka mengenal perayaan lebaran ketupat seminggu setelah pelaksanaan puasa Syawal.
Topak adalah bahasa lain dari ketupat. Ladheh (atau ada yang menulisnya: ladeh) berarti masakan berkuah. Ketupat yang berkuah.
Berbeda dengan opor atau kari yang bersantan, topak ladheh kuahnya tidak terlihat saripati perasan kelapa, meski menggunakan buah famili palem tersebut. Tidak "berat" di mulut dan perut.
Bumbunya pun tidak ditumis, seperti umumnya olahan berkuah. Bumbunya adalah bumbu genak, atau bumbu lengkap. Di mana hampir semua rempah digunakan.
Tidak pula ditambahkan penyedap rasa sintetik. Rasa sedap, gurih, dan bikin ketagihan berasal dari: kaldu daging dan bumbu pembentuknya. Garam ditambahkan saat hidangan akan disantap saja, sesuai selera masing-masing penikmat.
Cara menyantapnya, potongan ketupat di dalam piring disiram kuah beserta isinya. Ditambah obur-obur berupa:
- Rebusan kacang panjang.
- Sambel tampes (irisan kecil kentang goreng disangrai dengan udang segar yang ditumbuk halus dengan bumbu-bumbu).
- Bubuk kacang kedelai goreng.
- Sambal (cabai rawit dan kemiri dikukus diulek).
- Espaes-paes (pepes udang dan kelapa parut). Tapi kali ini tidak ada espaes-paes Gak sempet bikin.
Dengan campuran bahkan tanpa bahan penyedap sintetik, sudah dapat dibayangkan kelezatannya. Udang adalah bahan penyedap alami.
Untuk menghadirkan ladheh yang lezat, kendati sama sekali tidak ditambahkan micin atau sejenisnya, butuh proses panjang yang lumayan rumit. Setidaknya, dua hari sebelumnya telah dimulai proses pembuatannya.
Kelapa parut berikut bumbu disangrai dengan api kecil agar tidak gosong. Boleh diangkat setelah berwarna kecokelatan. Volume berkurang hampir setengahnya. Terus diaduk sampai dingin.
Setelah itu dihaluskan. Ada dua cara menghaluskan kelapa parut sangrai. Menggunakan lumpang besi, yang saat ini saya percaya sudah langka. Atau diblender, sedikit demi sedikit, tapi lebih cepat dibanding dengan cara ditumbuk. Gak capek pula.
Daging direbus. Air rebusan pertama dibuang. Ganti air lalu rebus lagi hingga empuk. Kemudian, pindahkan ke panci lebih besar. Tambahkan air. Masukkan rempah daun dan rimpang (serai, daun jeruk purut, lengkuas).
Cara memasak selengkapnya dapat dibaca di:Â Topak Ladheh, Hidangan Lebaran yang Tidak Ada di Pasaran
Sekali lagi. Tidak terasa "berat" di mulut dan perut. Mengenyam hidangan opor bersantan dan kawan-kawan, saya mengetahui seperti apa respons lidah. Makanan familier di dalam kehidupan sehari-hari.
Berat di mulut, tidak ada sensasi unik yang dapat dirasakan. Berat di perut, makanan dengan bahan dasar daging dan santan kental dapat membebani pencernaan. Juga kesehatan, apabila dikonsumsi berlebihan atau terus menerus.
Baca juga:Â Penyeimbang Olahan Daging dan Bersantan pada Lebaran
Topak ladheh, pengadaannya hanya setahun sekali pada momen lebaran. Untuk mencarinya di pasaran pun, sampai sekarang saya tidak berhasil menemukan penjual topak ladheh.
Maka lebaran menjadi kesempatan makan makanan khas yang jarang itu. Mengabaikan dulu tawaran tetangga untuk mencicipi hidangan rendang, opor, dan seterusnya. Di luar lebaran, olahan tersebut bisa dicari.
Kembali ke topak ladheh. Setelah ditambah garam meja, sedikit kuah di ujung sendok dikecap dulu. Obur-obur (kacang panjang, sambel tampes, bubuk kedelai, sambal) dan kerupuk ditambahkan. Saatnya makan.
Minyak pada kuah berasal dari kelapa sangrai dan kaldu daging. Uap melayang mengundang rasa lapar. Ya. Bau makanan ini sangat khas, harum yang merangsang.
Kelapa yang gurih bergabung dengan segala rempah terkecap di lidah, bukan manis seperti santan. Kuahnya ringan, tiada bosan untuk terus-menerus diseruput. Lezatnya tidak biasa tiada banding. Enaknya luar biasa.
Ke perut, topak ladheh tidak terasa membebani. Tidak ada reaksi janggal dari pencernaan manakala menerima makanan tersebut. Tidak muncul nggliyeng (apa ya artinya?) di kepala, seperti seusai makan masakan bersantan secara berlebihan.
Putri saya sangat menyukai masakan ini. Karenanya topak ladheh diadakan di rumah, kendati proses pembuatannya melelahkan.
Saya harusnya cukup makan setengah saja ketupat ukuran lumayan besar, tapi kali ini utuh satu ketupat. Bila potongan ketupat belum habis, tambah lagi kuah agar banjir. Rakus ya? Enggak juga sih. Lahap iya.
Tidak apa-apa, sekali-kali makan banyak. Demi menebus rasa kangen terhadap topak ladheh. Masakan sedap dan gurih yang hanya diadakan setahun sekali. Saat lebaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H