Rasa enggan menyelinap. Bersembunyi di balik kemeriahan takbir menyambut tibanya Hari Kemenangan, setelah televisi mewartakan penetapan tanggal 1 Syawal 1443 Hijriah.
Jauh di dalam ruang dada berdenyut ganjalan. Tidak ada masalah apa juga dengan melawat ke tempat tinggal teman-teman lama pada lebaran ini. Kecuali bersilaturahmi ke kediaman seorang kawan. Berat kaki untuk mengunjungi rumah kawan sekolah satu itu.
Pantulan kejadian silam menggelintar. Menyesaki bilik ingatan di bawah batok kepala yang pada sebagiannya sudah botak.
Satu masa di mana merupakan situasi yang hendak aku hapus dari kenangan, namun tidak ada satu pun cara untuk mengabaikannya. Ia telah menjadi pupuk penyubur rasa rendah diri. Juga kemarahan.
"Masih pakai motor jadul dari zaman sekolah? Tiada perubahan pada dirimu... " teriaknya, dari balik kaca pintu SUV terbaru. Kepala-kepala menoleh, lalu melemparkan gelak yang serentak menancap pada ulu hati. Mules. Setelah itu aku merasa bahwa semua pandangan meletakkan harga diriku pada titik nadir.
Salahku. Datang pada acara reuni sekolah tidak lebih awal. Merapat menjelang pembukaan, bersamaan dengan berhentinya mobil mewah milik kawanku itu.
Selanjutnya, kegiatan reuni sampai selesai menggembirakan bagi semua orang. Kecuali aku, terpojok ditembak oleh hantaman bertubi-tubi kata-kata meluncur dari mulut kawan satu itu. Lebih panas dibanding timah paling panas sekalipun.
Dulu.
Kini, Lebaran tahun ini menjadi perayaan bagi semua orang, setelah dua tahun terpenjara oleh merebaknya COVID 19. Aku turut gembira. Harusnya.
Lawatan ke rumah kawan satu itu sedikit menyurutkan semangat. Kunjungan yang mau tidak mau mesti tidak boleh dilewatkan. Bagaimana tidak bisa mampir?