Anak-anak yang enggan bangun. Teriakan istri mendesak mereka agar segera mandi, sementara kedua tangannya sibuk mengikat kardus berisi oleh-oleh. Koper dan tas berisi pakaian sudah dibereskan tadi malam.
Setelah hiruk pikuk komando berlompatan dari bibir tebalnya selama satu jam, saatnya semua anggota keluarga duduk manis di meja makan. Nasi goreng, telur ceplok disiram kecap terhidang di hadapan masing-masing.
Tanpa suara, anak-anak dan aku mengurangi isi piring. Sedangkan mulut lebar istriku masih mengeluarkan gerundelan.
Diam-diam aku membawa piring-piring kosong ke dapur. Membuka kran, mengambil sabun pencuci lalu mengoleskannya pada permukaan piring.
Setelah memastikan seluruh kran sudah tertutup, aku menutup kran utama setelah meteran. Memeriksa apakah lampu-lampu telah padam. Anak-anak aku perintahkan agar pindah ke teras, menjaga tas, koper, dan barang bawaan. Pintu kamar anak-anak segera dikunci.
Kemudian memasukkan barang-barang ke dalam bagasi mobil. Tidak ada yang ketinggalan, kecuali tas kecil bawaan istriku.
Sambil menunggunya berkemas-kemas, aku kembali ke dapur. Membubuhkan sesendok teh gula, lalu kopi ke dalam cangkir. Memantik kompor sebelum meletakkan panci kecil berisi air.
Pagi itu istriku sibuk luar biasa. Memastikan semua persiapan sudah dilakukan dengan suara melengking menghambur tiada henti dari senapan otomatis. Berkunjung ke sana kemari, menemui tetangga yang tidak berencana bepergian ke luar kota dalam jangka waktu lama. Juga memberitahu pak RT.
Sistematika persiapan perjalanan ke kampung halaman yang demikian tertib. Tidak bakal ada yang terlewat. Istriku tak mau menyerahkan pekerjaan persiapan dan relasi sosial kepadaku.
Aku memang terkenal dengan sifat pendiam yang tidak pandai bergaul, dan sangat ceroboh dalam segala hal. Gampang melupakan sesuatu, kendati ia sudah merupakan prosedur standar dalam urutan kegiatan yang mesti dijalankan.
***