Dulu, semasa masih aktif bekerja. Di bulan Ramadhan. Demi memastikan kemenangan perusahaan dalam satu tender, maka bersama teman-teman sejawat saya ikut menginap di kantor.
Satu lantai khusus untuk tempat beristirahat. Dua lantai di bawahnya untuk tempat kerja.
Kebutuhan untuk berbuka dan makan sahur sangat terjamin. Makanan dan minuman senantiasa melimpah. Apalagi pada waktu berbuka.
Sore hari, di beberapa tepi jalan di Cibinong, mestinya juga di kota-kota lain, diramaikan oleh pedagang takjil. Kami membeli timun suri, es kelapa muda, gorengan.
Tak lupa memesan ayam kampung bakar di warung sebelah kantor Kodim Kabupaten Bogor.
Sementara di kantor sudah disiapkan nasi, sayur tumis, buncis telur asin goreng, dan aneka lauk.
Begitu azan magrib berkumandang, kami meneguk air putih dan menyantap tiga butir kurma. Makan beberapa potong gorengan dan minum minuman segar. Es timun suri dengan sirup atau es kelapa muda, tinggal pilih. Kalau mau, boleh dua-duanya.
Kemudian salat magrib berjamaah.
Setelah itu menyeruput kopi sambil mengembuskan asap putih dan makan sepotong bakwan. Perut kenyang, kendati hidangan utama belum disantap.
Sebelum waktu isya tiba, mau tidak mau nasi beserta teman-temannya dimakan juga. Bukankah bila belum menyantap nasi belum dianggap makan?
Perut terasa sesak, seolah hendak meledak. Tidak sanggup lagi meneruskan acara makan. Makanan tersisa masih melimpah.
Di meja tergeletak es timun suri, es kelapa, gorengan, nasi dan lauk pauk menunggu untuk disantap. Tapi siapa yang mau ketika banyak orang sudah kenyang? Untuk sahur pun masih berlebih.
Alhasil banyak makanan tersisa menjadi mubazir. Membeli banyak hanya untuk disisakan tidak termakan. Rasanya tidak pantas
Daripada membeli hal yang sekiranya akan mubazir, alangkah lebih elok bila sebelumnya menginventarisi siapa saja yang berhak memperoleh makanan pembuka puasa.
Mungkin tetangga yang kurang beruntung secara finansial. Bisa juga para homeless di emperan toko. Pemulung yang masih mengais rezeki. Siapa saja yang memerlukan makanan. Situasi dan kondisinya bisa berbeda untuk setiap person dan tempat.
Beli makanan takjil dari penjual, yang berharap makanan minuman dipajang habis terjual, dan kemudian berbagi kepada sesama. Dengan itu tidak ada lagi makanan mubazir, sebagaimana contoh di awal.
Jangan lupa, sisihkan makanan buka puasa untuk diri dan keluarga atau kolega. Makan secukupnya. Bukan lalu makan sekenyang-kenyangnya demi pembalasan dendam.
Bukankah salah satu amalan menunaikan ibadah puasa adalah menahan nafsu? Nafsu membeli makanan secara berlebihan tanpa manfaat optimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H