Dulu, semasa masih aktif bekerja. Di bulan Ramadhan. Demi memastikan kemenangan perusahaan dalam satu tender, maka bersama teman-teman sejawat saya ikut menginap di kantor.
Satu lantai khusus untuk tempat beristirahat. Dua lantai di bawahnya untuk tempat kerja.
Kebutuhan untuk berbuka dan makan sahur sangat terjamin. Makanan dan minuman senantiasa melimpah. Apalagi pada waktu berbuka.
Sore hari, di beberapa tepi jalan di Cibinong, mestinya juga di kota-kota lain, diramaikan oleh pedagang takjil. Kami membeli timun suri, es kelapa muda, gorengan.
Tak lupa memesan ayam kampung bakar di warung sebelah kantor Kodim Kabupaten Bogor.
Sementara di kantor sudah disiapkan nasi, sayur tumis, buncis telur asin goreng, dan aneka lauk.
Begitu azan magrib berkumandang, kami meneguk air putih dan menyantap tiga butir kurma. Makan beberapa potong gorengan dan minum minuman segar. Es timun suri dengan sirup atau es kelapa muda, tinggal pilih. Kalau mau, boleh dua-duanya.
Kemudian salat magrib berjamaah.
Setelah itu menyeruput kopi sambil mengembuskan asap putih dan makan sepotong bakwan. Perut kenyang, kendati hidangan utama belum disantap.
Sebelum waktu isya tiba, mau tidak mau nasi beserta teman-temannya dimakan juga. Bukankah bila belum menyantap nasi belum dianggap makan?