Perdebatan diikuti oleh suara-suara menggelar. Pada siang itu saya tidak bisa menahan marah. Sebab seorang kawan tidak mampu memenuhi janji di dalam sebuah proyek kerja sama, membuat saya menderita kerugian.
Saya tahu bahwa kami sama-sama berpuasa, menahan lapar dan haus. Mestinya juga menjaga sikap, termasuk tidak mudah tersulut emosi. Harusnya mampu menahan marah.
Namun, darah lebih mudah mendidih ketika menahan lapar di siang bolong. Apa Cuma saya yang merasa demikian?
Saat lapar, menurunnya kadar glukosa dalam darah  menyebabkan berkurangnya sumber energi bagi tubuh dan otak. Berakibat kepada berkurangnya konsentrasi, mudah berbuat kesalahan, sehingga emosi mudah tersulut. Demikian menurut ujar dokter spesialis gizi dari Rumah Sakit Pelni, dr Jovita Amelia (sumber).
Tubuh akan menghasilkan hormon kortisol dan adrenalin pemicu stres sampai rasa tidak suka terhadap sesuatu, ketika kadar gula darah sangat rendah
Bisa saja dalam keadaan demikian seseorang marah, mengeluarkan suara menggelegar atau membentak. Bahkan dalam tingkatan tertentu dapat memunculkan perilaku agresif. Berpotensi kepada perilaku bertentangan dengan norma sosial.
Sesungguhnya Islam, melalui Al-Qur'an dan Hadits, telah menyeru kepada umatnya agar mampu menahan marah (selanjutnya dapat dibaca di sini).
Pada kesempatan bulan Ramadhan, kita yang sedang berpuasa sesekali diuji dengan situasi tertentu pemicu emosi tidak terkontrol. Seyogianya kita mampu mengekang nafsu marah dalam keadaan lapar sekalipun.
Marah bila dituruti dapat menimbulkan masalah kesehatan. Hormon-hormon yang dilepaskan akan memicu detak jantung lebih cepat, tekanan darah meningkat, pernapasan memburu. Kondisi marah yang persisten membawa hipertensi, serangan stroke dan jantung, gangguan pencernaan, sakit kepala, dan depresi (sumber).
Marah tidak terkendali juga akan berdampak kepada hubungan sosial, pekerjaan, masalah hukum (misalnya, bila dilampiaskan dengan kekerasan).