Kemudian pria irit bicara itu memberikan latihan sederhana gerakan tangan dan kaki. Hari itu saya pulang dengan penuh semangat.Â
Layar harapan mulai berkembang pada biduk sudah usang.
Esok harinya, Rabu pagi saya kembali untuk menerima terapi okupasi.
Terapi okupasi merupakan bimbingan dan latihan agar kelak penyintas mampu hidup mandiri dan berkegiatan produktif. Khusus dilakukan oleh dokter rehabilitasi medis dan occupational therapist untuk membantu pasien dengan keterbatasan fisik atau mental (sumber).
Ternyata terapis ahli adalah seorang wanita muda. Dengan ramah ia menanyakan berbagai hal mengenai kemampuan fisik saya. Wanita bersuara lembut (juga wajahnya) itu menanyakan, mengapa saya baru menemuinya sekarang setelah lebih dari tiga tahun.
Ah, perhatian sekali ya...
Timbul rasa sesal. Namun tidak timbul rasa marah pemicu dendam, karena saya sudah melatih diri selama sekian tahun untuk menahan marah terhadap apa pun. Hanya mampu menarik napas.
Selanjutnya, dengan telaten sang occupational therapist membimbing tangan, terutama bagian pergelangan dan jari jemari agar melakukan gerakan-gerakan sederhana.
Tampak demikian mencolok perbedaannya. Tangan bening lentik terasa lembut ketika memegang tangan saya yang kasar cenderung berwarna gelap.
Namun demikian, jemari dan pergelangan sulit bergerak. Mereka tidak begitu saja menurut kepada perintah otak. Terbersit rasa putus asa.
Embak terapis sepertinya mampu membaca pikiran, "masalah terbesar adalah melawan rasa malas. Ayo, tantang diri sendiri untuk melakukan perubahan!"