Beda antara minyak goreng kemasan dengan curah terletak pada proses penyaringan. Minyak goreng kemasan mengalami dua kali penyaringan, sedangkan minyak goreng curah hanya sekali. Oleh karena itu, minyak goreng curah cenderung lebih mudah tengik dan teroksidasi (sumber).
Meskipun menggunakan minyak goreng yang jauh lebih mahal dari sebelumnya, para penjual gorengan itu tidak mau menaikkan harga.
Menurut Emak penjual nasi uduk dan gorengan yang mangkal di halaman rumah saya, konsumen akan kabur bila harga jual dinaikkan. Penjual gorengan berjarak 100 meter dari rumah, menaikkan harga menjadi Rp 2.500 per 2 potong (Rp 1.250/potong). Esoknya, pembeli pindah ke warung Emak.
Saya lihat selintas, irisan tempe dan bahan gorengan lainnya menipis atau mengecil. Entahlah.
Jadi, agar barang dagangan terjual habis, penjual gorengan bertekuk lutut kepada "kemauan tak terucap" konsumen untuk tidak menaikkan harga.
Terpenting, modal Rp 100.000 hingga Rp 200.000 bisa berputar, kendati keuntungan kian menipis. Mungkin kelak diam-diam harga dinaikkan ketika konsumen menerimanya sebagai kelaziman.
Demikian pula tatanan jauh di atas sana, takluk menghadapi situasi pasar: stok dan harga minyak goreng tidak terkendali.
Akhirnya pemerintah takluk. Lalu menyerah kepada mekanisme pasar yang bekerja menyeimbangkan permintaan dan penawaran. Mencabut HET minyak goreng demi tersedianya kembali minyak goreng di pasaran.
Boleh jadi HET minyak goreng akan ditetapkan kembali, setelah minyak kelapa sawit mencapai harga kesetimbangan (equilibrium). Kelak. Entah kapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H