Penjual gorengan bertekuk lutut kepada konsumen. Harga jual tetap, meski minyak goreng mahal setelah HET minyak goreng dicabut. Mau bagaimana lagi?
Sejak November 2021, harga minyak goreng di pasaran mulai menjauhi Harga Eceran Tertinggi (HET). Kemudian pemerintah menetapkan kebijakan satu harga, Rp 14.000 per liter.
Akhir Januari 2022, ditetapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) atau alokasi untuk kebutuhan dalam negeri dari volume produksi, dan Domestic Price Obligation (DPO) yang mengatur harga CPO di tanah air (sumber).
Maka HET mulai 1 Februari 2022 menjadi:
- Minyak goreng curah (tidak dikemas dan tidak bermerek) seharga Rp 11.500/liter,
- Minyak goreng kemasan sederhana (dalam kemasan ekonomis) seharga Rp 13.500/liter,
- Minyak goreng kemasan premium (disimpan dalam kemasan bukan sederhana) seharga Rp 14.000/liter.
Tidak lama setelah harga diturunkan, minyak goreng perlahan lenyap dari pasaran. Minyak goreng harga Rp 11.500 sampai Rp 14.000 liter menjadi langka. Kementerian Perdagangan mencurigai kelangkaan terjadi akibat adanya penimbunan.
Baca juga:Â Minyak Goreng Naik, Pedagang Gorengan Terjepit
Terakhir, sepertinya pemerintah takluk menghadapi drama kelangkaan, HET minyak goreng dicabut. Menyerahkan harga kepada mekanisme pasar (sumber).
Setelah HET dicabut, minyak goreng mendadak dangdut. Rame-rame mengisi rak pasar-pasar dan toko-toko ritel, tapi harganya melompat naik dari sebelumnya.
Di lingkungan sekitar rumah saya, minyak goreng kemasan 2 liter dijual dengan harga Rp 52.000 atau Rp 26.000 per liter. Sedangkan minyak goreng curah tidak tersedia.
Katanya, minyak goreng curah di pasar dijual seharga Rp 18.000 per liter. Melebihi batas harga ditetapkan sebesar Rp 14.000 per liter.
Para penjual gorengan yang saya kenal lebih suka menggunakan minyak bermerek (kemasan), kendati menebusnya dengan harga lebih mahal. Mereka menganggap minyak goreng curah lebih boros dan cepet item (keruh). Hasil gorengan juga kurang disukai oleh konsumen.