Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Harga Minyak Goreng Naik, Pedagang Gorengan Terjepit

14 Maret 2022   06:09 Diperbarui: 14 Maret 2022   06:11 1530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak akhir 2021 harga minyak goreng naik. Belakangan, kian langka. Pemerintah tidak berdaya, kendati telah menetapkan kebijakan pengendalian harga.

Pagi yang hujan. Saya berteduh di sebuah warung kelontong. Minum sebotol air mineral dan ngemil kacang goreng sambil menunggu cuaca cerah, saya iseng bertanya.

"Sekarang berapa harga minyak goreng?"

"Terakhir saya jual tujuh belas ribu per liter. Tapi sekarang barang susah. Kalau ada, saya beli, sekalipun mahal."

Sebelum kenaikan, harga minyak goreng adalah Rp 11-12 ribu per liter. Pantas warung sebelah, tempat saya biasa ngopi dan makan gorengan, tutup akibat harga mahal dan tiadanya minyak.

Beberapa waktu lalu, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menerapkan kebijakan satu harga Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).

Saya tidak perlu mencari tahu apa makna istilah-istilah terpelajar dan keren itu. Biar, orang-orang berpengetahuan dan berpengalaman luas yang akan menjelaskan.

Para pengguna di dunia nyata juga tidak bakal memahami. Hanya tahu bahwa pada saat ini, selain mahal, minyak goreng langka.

Pengguna seperti pedagang gorengan hanya menarik napas tanpa mampu protes, apalagi unjuk rasa. Setidaknya dirasakan oleh penjual gorengan, seperti: Emak (warung di halaman rumah saya), Bu Sofia, Bu Yanti.

Mereka memiliki impitan yang serupa.

Harga minyak goreng meninggi, tetapi tidak serta merta menaikkan harga jual kepada konsumen. Harga jual akhir tidak berubah, tetap Rp 1.000 per potong tanpa mengubah ukuran. Ditambah pada bulan lalu, tahu tempe langka akibat perajin tahu tempe sempat mogok produksi.

"Bagaimana lagi? Kalau dinaikkan, pembeli pada kabur," ujar Bu Sofia.

Menyikapi kenaikan harga yang berlangsung terus menerus, penjual nasi uduk, mi gleser, bihun goreng, dan gorengan itu sempat menaikkan harga jual gorengan. Menjadi Rp 1.250 per potong.

Apa yang terjadi?

Pelanggan turut menghilang bersama minyak goreng. Akhirnya wanita asal Sukabumi itu mengembalikan ke harga semula.

Baginya, dan bagi beberapa penjual gorengan di kawasan permukiman menengah bawah, yang penting modal bisa berputar, kendati keuntungan menipis. Masih ada yang bisa dimakan, katanya pasrah.

Birokrat berdalih, kenaikan harga minyak goreng disebabkan oleh kenaikan signifikan harga internasional. Juga terganggunya rantai distribusi industri minyak goreng karena menurunnya panen sawit.

Hal lain yang patut disalahkan adalah melonjaknya permintaan CPO (crude palm oil, bahan utama minyak goreng) untuk memenuhi kebijakan biodiesel B30. Terkendalanya logistik  akibat pandemi juga disalahkan (sumber).

Menurut Pramono Anung, setengah dari total 50 juta ton produksi minyak goreng diekspor. Pemerintah menghimbau agar produsen lebih mendahulukan kebutuhan dalam negeri, kendati harga internasional sedang tinggi (sumber).

Kita tunggu saja apakah himbauan itu bertuah.

Persoalan-persoalan di atas tidak akan mudah diterangkan kepada para penjual gorengan yang serba salah. Minyak goreng mahal, ongkos produksi meningkat. Di sisi lain ia tidak bisa semena-mena menaikkan harga jual gorengan.

Kenaikan harga minyak goreng, juga kenaikan harga bahan lainnya, membawa para penjual gorengan itu terjepit dalam situasi sulit.

Apa pun excuses disampaikan para pejabat publik, hasil akhirnya adalah kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng. Ah, jadi ingat petuah Presiden Joko Widodo di depan Sidang Paripurna MPR RI, Minggu (20/10/2019) petang:

Jangan lagi kerja kita berorientasi pada proses, tapi harus berorientasi pada hasil, hasil yang nyata (sumber).

Para pejabat sepertinya hanya berfokus kepada proses. Bukan hasil akhir, yaitu: harga minyak goreng tidak terpengaruh oleh perubahan harga luar negeri! Itu saja sih.

Orang awam seperti saya hanya bertanya, kok bisa tidak memiliki kedaulatan atas harga minyak goreng? Kalau gandum, tidak aneh. Karena kita bukan produsen bahan pangan itu

Ada baiknya pemerintah berterus-terang bahwa harga minyak goreng tidak berada di bawah kendali. Karena penentu akhir harga CPO adalah pihak lain yang bukan pemerintah. Entah siapa saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun