Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wartawan Bodrek yang Mencemari Citra Insan Pers

9 Februari 2022   17:55 Diperbarui: 9 Februari 2022   18:39 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) 9/2/1946, ditetapkan sebagai tanggal peringatan Hari Pers Nasional (HPN) pada tahun 1985.

Tema HPN 2022 adalah berkenaan dengan isu lingkungan hidup, selain menekankan pada masa depan wartawan di zaman digital. Juga berkontribusi terhadap pembangunan di daerah, menyuarakan kepentingan nasional, dan mengulas isu-isu strategis berkenaan dengan kehidupan pers nasional.

Selengkapnya dapat dibaca di sini

Peringatan HPN 2022 dijadikan pijakan bagi peningkatan kecepatan, ketepatan, dan kode etik dalam penyebaran informasi.

Terkait dengan hal kode etik, tentang insan pers agar tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima amplopan (suap), saya mengalami beberapa peristiwa menarik.

Sekitar tahun 2000-an tempat kerja mengundang wartawan perwakilan media cetak di ibukota. Press release diadakan dalam rangka re-opening kafe.

Dibantu koordinator independen, acara berlangsung mulus. Di akhir acara, ada pegawai khusus yang membagikan amplopan kepada para wartawan di pintu keluar. Masih tersisa.

Sebagian orang menerima dengan semringah dan ada pula yang menolak secara halus. Ternyata, sebagian dari mereka adalah wartawan bodrek. Sisanya merupakan insan pers pemegang teguh kode etik.

Bersinggungan lagi dengan wartawan setelah menjadi pemborong. Terutama ketika memperoleh proyek-proyek konstruksi.

Dalam masa itu, berbagai pihak mengaku sebagai wartawan. Menunjukkan tanda pengenal, entah berlaku atau tidak. Saya sudah kadung mangkel karena mereka kerap memprovokasi. 

Kalau emosi terpancing, bisa menjadi lahan basah untuk mengeruk pundi-pundi.

Orang mengaku wartawan itu juga menunjukkan koran dengan kantor redaksi yang jauh di luar kota, bahkan luar pulau. Menyerahkan beberapa eksemplar dengan biaya penggantian. Lebih besar, bila mereka menduga ada masalah di proyek.

Berbeda dengan wartawan media online. Saat kunjungan seorang anggota DPRD ke lokasi proyek (ia adalah putra daerah tersebut), tujuh atau delapan wartawan mengiringi. 

Seusai kunjungan, para wartawan mewawancarai saya di warung sambil ngopi. Beberapa memesan rokok dan makanan/minuman.

Pertemuan bubar. Nilai bon tagihan warung yang harus diselesaikan meliputi kopi, rokok, jus, nasi rendang dan semacamnya. Hal itu masih tidak seberapa.

Dahsyatnya, sore hari mereka mengundang saya untuk bertemu di tempat sama dan menunjukkan layar telepon genggam tentang media online dan draft berita. Bila saya tidak kooperatif (memberikan amplopan), maka berita dibuat buruk.

Pada lain waktu muncul peristiwa lebih menakjubkan. Seseorang yang mengaku wartawan menyatakan, spesifikasi bahan terpasang dalam satu proyek saya tangani telah menyalahi ketentuan. Saya tidak menanggapi sebab yakin, pemasangan itu memenuhi syarat.

Untuk merundingkan persoalan, saya mengajaknya ke kantin di dalam markas Kopassus yang terletak dekat proyek. Saya menjelaskan panjang lebar, disertai salinan buku pedoman dalam bentuk PDF dari Kementerian PUPR.

Perdebatan itu mengundang perhatian orang-orang berbaju loreng darah. Salah seorang darinya menghampiri.

"Ada yang perlu dibantu, Mas Budi?"

Saya tersenyum, "tidak, Pak Sembiring. Bisa dikendalikan."

Orang yang mengaku wartawan mendadak pamit tanpa minta apa-apa.

Saya lalu bergabung dengan para tentara. Bersenda gurau. Lha wong ketemu tiap hari selama proyek, bagaimana mungkin tidak akrab?

Sampai dengan akhir tahun 2018, gerombolan yang mengaku wartawan masih sering saya jumpai. Baik di lokasi proyek maupun di sekitar kantor-kantor Dinas milik Pemda. 

Mudah-mudahan sekarang tidak ada lagi.

Tujuannya jelas. Meminta "uang rokok dan kopi" dari pemborong dengan cara mengintimidasi secara verbal. Jika hati ciut dengan gertakan itu, alamat sebagian dana proyek mengalir kepada mereka.

Kendati hanya mewakili sedikit dan hanya terjadi di area terbatas, perilaku segelintir wartawan bodrek semacam itu dapat mencemari citra insan pers secara keseluruhan.

Jadi, dalam momentum peringatan HPN 2022, terlebih dahulu orang yang mengaku-ngaku wartawan itu disingkirkan. Sebelum memberikan sumbangsih kepada pembangunan di daerah, mengusung kepentingan nasional, dan mengulas isu-isu strategis berkaitan dengan kehidupan pers nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun