Saat duduk sambil membersihkan jenggot, kepala terasa pening. Lemari, atau entah apa, berderak-derak. Air dalam wadah kaca menggelombang. Gempa!
Jumat (14/1/2021) sekitar pukul 16.05 terjadi gempa. Berpusat di 52 kilometer barat daya Sumur, Banten, gempa bumi tektonik bermagnitudo M 6,7 itu terasa hingga Lampung, Jakarta, dan Bogor (sumber).
Keesokan harinya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, gempa Banten mengakibatkan 1.231 bangunan di wilayah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang mengalami kerusakan ringan hingga berat. (sumber).Â
Dilaporkan juga mengenai padamnya aliran listrik di sekitar wilayah lokasi.
Kerusakan akibat gempa tersebut, terutama bangunan baru, terjadi karena --diduga---konstruksi tidak memenuhi syarat bangunan tahan gempa. Kerusakan dapat dimaklumi, menjelang akhir tahun merupakan periode penyelesaian proyek pekerjaan bangunan pemerintah.
Mestinya, pondasi, beton, dan beton bertulang dikonstruksi agar mampu menahan beban gaya statis akibat gaya horizontal gempa. Beberapa gedung bertingkat menggunakan bantalan karet tahan gempa (seismic bearing) pada struktur. Ia juga mampu menahan beban gaya dinamis (perilaku struktur akibat gempa, di mana konfigurasinya bersifat lentur).
Untuk tujuan praktis atau sebagai panduan sederhana, berikut disampaikan parameter berkenaan dengan bangunan tahan gempa. Meliputi lokasi tanah tempat berdirinya, denah bangunan, pondasi, badan bangunan, dan kuda-kuda atap.
Lokasi Bangunan
Paling baik dipilih lokasi yang merupakan dataran dengan tanah bersifat keras. Bukan di tanah sangat halus dan tanah mudah mengembang (tanah liat yang sensitif).
Bila berkontur, seperti bukit atau lahan miring, pastikan tanah tidak gampang longsor (stabil).
Denah
Seyogianya denah bangunan dibuat sederhana dan simetris, dengan perbandingan lebar: panjang = 1 : 2. Bila tidak simetris, bagian tersebut menggunakan alur pemisah yang membuat bangunan menjadi seimbang.
Pondasi dan Struktur
Pondasi diletakkan di tanah keras (bukan sebagian berada di tanah lunak), berpenampang simetris, dibuat menerus sesuai panjang bangunan, dan berada di kedalaman galian yang memadai. Dalam beberapa kasus, kedalaman galian seharusnya satu meter, tetapi hanya dibuat sedalam 60 bahkan 40 sentimeter.
Penggunaan jenis/ukuran besi beton disesuaikan dengan sifat bangunan dengan ikatan dipastikan kuat. Misalnya: besi ulir diameter 16 milimeter digunakan untuk tulangan kolom utama rumah dua lantai; sambungan (stek) overlapping-nya dibuat sesuai ketentuan ilmu teknik sipil.
Struktur dibuat sedemikian rupa agar mampu mempertahankan kekuatan (daktilitas). Cukup rigid sehingga struktur tetap berdiri, meski gedung nyaris roboh. Selain memiliki daktilitas bagus, struktur cukup lentur dan memiliki daya tahan terhadap kerusakan.
Dinding dan Bukaan
Dinding penyekat dan bukaan (pintu, jendela) dibuat seimbang terhadap sumbu bangunan.
Sebaiknya dipilih bahan yang ringan. Konstruksi kayu dengan pengikat paku atau baja ringan yang dikunci dengan baut.
Pemilihan lokasi dan tanah yang sesuai, denah yang cenderung simetris, struktur juga material pembentuk yang lentur dan ringan merupakan cara-cara mengonstruksi bangunan pada wilayah rentan gempa bumi.
Tidak mengherankan, jika para leluhur kita membuat rumah dari bahan kayu, bambu, dan bahan ringan lainnya dari alam. Juga membuatnya dalam bentuk persegi simetris dan bulat.
Walaupun berkesan sederhana, struktur bangunan tersebut umumnya relatif mampu menahan gempa.
Mencermati gambaran di atas, apakah kita harus merenovasi bangunan yang telah berdiri agar tahan gempa?
Saya rasa tidak. Kita meyakini bahwa rumah ditinggali sudah cukup solid dan memiliki struktur terikat kuat, sehingga mampu menahan beban gaya statis maupun dinamis dari gempa bumi. Kecuali bagi mereka yang memiliki kelebihan kemampuan finansial.
Bayangkan. Merenovasi struktur, denah, material, dan kuda-kuda berarti nyaris seperti membangun rumah dari nol. Sama saja dengan biaya membangun rumah baru, sekitar 2,5-3 juta rupiah per meter persegi. Ampun DJ!
Jadi, pedoman atau panduan sederhana membangun rumah/bangunan agar tahan gempa di atas sebaiknya diterapkan pada bangunan baru.
Dan bagi pelaksana pembangunan gedung baru milik pemerintah, jangan dikurangi ya realisasi dari rencana pekerjaan. Semisal, mengurangi dalamnya galian, ukuran/jenis besi beton, dan penyunatan lain.
Jangan ya! Ntar bangunan gampang rusak, sekalipun jauh dari pusat gempa.
Sumber: Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Gedung Tahan Gempa, Panitia Tehnik Standarisasi Bidang Konstruksi dan Bangunan, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum (sekarang: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H