Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Menyantap Mi Balap Medan, Lanjut Menyesap Kopi Tubruk

11 Januari 2022   05:58 Diperbarui: 11 Januari 2022   06:01 2811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Secangkir kopi dengan buih belum diaduk (dokumen pribadi)

Sejatinya mi balap Medan adalah menu cepat saji. Tersedia dalam wadah besar Disajikan selagi hangat per porsi demi kebutuhan sarapan para pembeli. Begitu persediaan menipis, penjual membuat lagi di kuali besar.

Di Bogor tata cara penyediaan semacam itu berubah. Mi balap dibuat secara individual, bukan massal. Barangkali perbedaan kebisaan menyantap sarapan menjadi sebab.

Warga kota hujan biasanya mengerumuni penjual penganan pagi yang terdiri dari: nasi uduk, lontong sayur, bihun/mi goreng, kadang pecel, dan aneka gorengan. Umumnya sudah matang sebelumnya. Cenderung dingin, kecuali pedagang yang membuat gorengan secara mendadak.

Menurut penjual yang mangkal di halaman sebuah rumah klasik nan keren, menyiapkan mi balap dalam jumlah banyak akan menimbulkan risiko makanan menjadi dingin. Pembeli datang di sebarang waktu. Tidak sambung-menyambung, seperti penikmat di Medan.

Keadaannya berbeda pada saat awal berdagang. Membuat mi balap dalam jumlah banyak masih diterapkan. Saya menyaksikannya ketika pertama kali menjajal mi balap pada tahun 2014 di Jl. Sukasari, Kota Bogor.

Menurut Popay (Popeye), panggilan penjual yang bernama asli Nanda, keberadaan di tempat pelintasan orang dan perkantoran mampu mengerek penjualan. Menghabiskan bahan mentah bihun dan kwetiau sampai dengan 10 kg per hari.

Namun semenjak pindah lokasi pada tahun 2015, penjualan anjlok.

Saya bertanya, apakah tinggal sepertiga? Perantau itu enggan menjawab. Ditengarai soal lokasi merupakan penyebab.

Lalu lintas di sekitar rumah huk itu cukup cepat. Bukan merupakan perlintasan dengan banyak pejalan kaki. Bukan daerah perkantoran dan sekolah. Gerai mi balap itu tersembunyi di dalam halaman.

Secara keseluruhan, letaknya kurang strategis. Satu spanduk dipajang rasanya kurang mengundang. Perlu ditambah satu lagi di depan menghadap ke jalan besar.

Kemudian saya memesan seporsi. Di spanduk tertulis harga Rp 10 ribu untuk mi balap polos. Sedangkan mi balap istimewa (tambah telur dadar) Rp 15 ribu.

Proses memasak mi balap (dokumen pribadi)
Proses memasak mi balap (dokumen pribadi)

Mi di sini tidak seperti bahan makanan seperti tali berwarna kuning terbuat dari tepung terigu. Bukan.

Mi balap adalah gabungan bihun (vermicelli/rice noodles terbentuk dari tepung beras) dan kwetiau (putih, pipih, terbuat dari beras). Keduanya digoreng bersama telur kocok, bakso ikan, bumbu-bumbu, kecambah, daun sawi, dan daun bawang di dalam wajan besar.

Di atas seporsi mi balap istimewa diletakkan telur dadar dan sambal khas. Digiling halus. Sepertinya sambal itu mengandung belacan. Samar-samar. Terasi Medan pada dasarnya memang tidak berbau tajam, namun rasanya gurih.

Rasa olahan tidak seperti mi/bihun/kwetiau goreng biasanya yang rasa manisnya cenderung kuat. Mi balap Medan dibubuhi kecap tipis-tipis saja. Gurihnya lebih dominan. Bagi mereka yang tidak suka masakan manis, olahan ini sangat pas.

Saya agak kesulitan dalam melahap mi balap. Selain piringnya kecil untuk memuat porsi lumayan banyak, penggunaan sumpit cukup merepotkan. Maklum, tangan kiri belum begitu mahir menggunakan sumpit. Sementara tangan kanan tidak (belum) berdaya.

Padahal dulu jago memakai alat makan dari Tionghoa itu. Bahkan, dulu makan bubur di Sukabumi (di jalan pelabuhan) memakai sumpit. Nanti saya ceritakan bagaimana caranya. Kalau sempat.

Walaupun pelan-pelan makannya, mi balap Medan ludes menyisakan alas daun pisang, piring, dan sumpit sekali pakai. Pengen nambah, tapi tengsin.

Agar menambah penjualan UMKM itu, walau seuprit, saya memesan secangkir kopi. Di papan harga tertulis beberapa macam kopi seduh. Bukan dari sasetan, tetapi diracik oleh Popay yang merangkap sebagai barista.

Saya memesan kopi tubruk tanpa gula, harganya Rp 12 ribu. Mestinya total pembelian pagi itu senilai Rp 27 ribu.

Secangkir kopi dengan buih belum diaduk (dokumen pribadi)
Secangkir kopi dengan buih belum diaduk (dokumen pribadi)

Kopinya enak. Cukup pekat. Menurut penjual, ia menggunakan campuran kopi Robusta dan Arabika dengan komposisi dirahasiakan. Bahan-bahan tersebut dikirim dari Aceh.

Menggunakan sendok teh, saya menarik buih dengan perlahan ke pinggir cangkir. Bukan diaduk. Biarkan gelembung bersama ampas tenggelam dengan sendirinya.

Barulah saya menikmatinya. Kendati kental, kopi tubruk tidak terasa pahit. Sepintas terasa asamnya Arabika.

Cukup lama saya nongkrong di kedai yang terletak di huk jalan Ciwaringin, Kota Bogor. Menyantap mi balap Medan yang enak dilanjutkan dengan menyesap secangkir kopi tubruk, sambil merakit karya tulis ini.

Tiba waktunya untuk menyelesaikan tagihan.

"Semuanya jadi dua puluh lima ribu," senyum Popay.

Bah, kau kasih diskon pula! Padahal daganganmu belum banyak laku, batin saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun