Kemudian saya memesan seporsi. Di spanduk tertulis harga Rp 10 ribu untuk mi balap polos. Sedangkan mi balap istimewa (tambah telur dadar) Rp 15 ribu.
Mi di sini tidak seperti bahan makanan seperti tali berwarna kuning terbuat dari tepung terigu. Bukan.
Mi balap adalah gabungan bihun (vermicelli/rice noodles terbentuk dari tepung beras) dan kwetiau (putih, pipih, terbuat dari beras). Keduanya digoreng bersama telur kocok, bakso ikan, bumbu-bumbu, kecambah, daun sawi, dan daun bawang di dalam wajan besar.
Di atas seporsi mi balap istimewa diletakkan telur dadar dan sambal khas. Digiling halus. Sepertinya sambal itu mengandung belacan. Samar-samar. Terasi Medan pada dasarnya memang tidak berbau tajam, namun rasanya gurih.
Rasa olahan tidak seperti mi/bihun/kwetiau goreng biasanya yang rasa manisnya cenderung kuat. Mi balap Medan dibubuhi kecap tipis-tipis saja. Gurihnya lebih dominan. Bagi mereka yang tidak suka masakan manis, olahan ini sangat pas.
Saya agak kesulitan dalam melahap mi balap. Selain piringnya kecil untuk memuat porsi lumayan banyak, penggunaan sumpit cukup merepotkan. Maklum, tangan kiri belum begitu mahir menggunakan sumpit. Sementara tangan kanan tidak (belum) berdaya.
Padahal dulu jago memakai alat makan dari Tionghoa itu. Bahkan, dulu makan bubur di Sukabumi (di jalan pelabuhan) memakai sumpit. Nanti saya ceritakan bagaimana caranya. Kalau sempat.
Walaupun pelan-pelan makannya, mi balap Medan ludes menyisakan alas daun pisang, piring, dan sumpit sekali pakai. Pengen nambah, tapi tengsin.
Agar menambah penjualan UMKM itu, walau seuprit, saya memesan secangkir kopi. Di papan harga tertulis beberapa macam kopi seduh. Bukan dari sasetan, tetapi diracik oleh Popay yang merangkap sebagai barista.
Saya memesan kopi tubruk tanpa gula, harganya Rp 12 ribu. Mestinya total pembelian pagi itu senilai Rp 27 ribu.