Sejatinya mi balap Medan adalah menu cepat saji. Tersedia dalam wadah besar Disajikan selagi hangat per porsi demi kebutuhan sarapan para pembeli. Begitu persediaan menipis, penjual membuat lagi di kuali besar.
Di Bogor tata cara penyediaan semacam itu berubah. Mi balap dibuat secara individual, bukan massal. Barangkali perbedaan kebisaan menyantap sarapan menjadi sebab.
Warga kota hujan biasanya mengerumuni penjual penganan pagi yang terdiri dari: nasi uduk, lontong sayur, bihun/mi goreng, kadang pecel, dan aneka gorengan. Umumnya sudah matang sebelumnya. Cenderung dingin, kecuali pedagang yang membuat gorengan secara mendadak.
Menurut penjual yang mangkal di halaman sebuah rumah klasik nan keren, menyiapkan mi balap dalam jumlah banyak akan menimbulkan risiko makanan menjadi dingin. Pembeli datang di sebarang waktu. Tidak sambung-menyambung, seperti penikmat di Medan.
Keadaannya berbeda pada saat awal berdagang. Membuat mi balap dalam jumlah banyak masih diterapkan. Saya menyaksikannya ketika pertama kali menjajal mi balap pada tahun 2014 di Jl. Sukasari, Kota Bogor.
Menurut Popay (Popeye), panggilan penjual yang bernama asli Nanda, keberadaan di tempat pelintasan orang dan perkantoran mampu mengerek penjualan. Menghabiskan bahan mentah bihun dan kwetiau sampai dengan 10 kg per hari.
Namun semenjak pindah lokasi pada tahun 2015, penjualan anjlok.
Saya bertanya, apakah tinggal sepertiga? Perantau itu enggan menjawab. Ditengarai soal lokasi merupakan penyebab.
Lalu lintas di sekitar rumah huk itu cukup cepat. Bukan merupakan perlintasan dengan banyak pejalan kaki. Bukan daerah perkantoran dan sekolah. Gerai mi balap itu tersembunyi di dalam halaman.
Secara keseluruhan, letaknya kurang strategis. Satu spanduk dipajang rasanya kurang mengundang. Perlu ditambah satu lagi di depan menghadap ke jalan besar.