Fried chicken, burger, dan pizza merupakan makanan favorit seorang keponakan. Sayur, tempe, dan olahan tradisional lain tidak ada di dalam kamusnya
Bahkan sampai dengan punya buntut 3 putri yang cantik, ia tidak pernah doyan sayur. Dimasak dengan cara apa pun. Sayur sup hanya akan diambil daging atau ayamnya saja. Kubis, wortel, buncis ditinggalkan dalam mangkuk saji.
Jangan tanya, bagaimana ia memperlakukan kangkung cah, cap cay, sayur bening, lalap, tempe tahu goreng, aneka olahan ikan, dan seterusnya. Tidak bakal disentuh!
Sebaliknya, pria tersebut mampu menghabiskan lebih dari satu potong burger, fried chicken, atau pizza. Saya menggunakan istilah fried chicken, bukan ayam goreng, agar tidak menyebut produk sebuah gerai waralaba asing.Â
Makanan lokal yang bisa disantap oleh pekerja serabutan itu adalah seumpama: pecel ayam atau ayam goreng penyet. Lalap, tempe, bakal disisakan.
Kebiasaan tersebut terbentuk semenjak ia kecil. Maklum, bapaknya merupakan pengusaha sukses. Sepupu saya itu mengguyur anak-anaknya dengan makanan gaya kekinian. Masakan rumah tidak lepas dari olahan daging dan ayam.
Berbeda halnya dengan putri saya yang demikian mudah menyantap tumisan sayur, lalapan, tempe tahu, ikan, teri, dan nyaris semua masakan tradisional. Ia pun tidak akan ragu makan di warteg.
Bukan berarti tidak menyantap makanan gaya asing (junk food dan sebagainya), tetapi penganan tersebut tidak menjadi keharusan. Saat saya mengelola kafe, anak saya cukup akrab dengan steak, pizza, chicken teriyaki, pasta Itali, dan lain-lain.
Lantas bagaimana bisa berbeda kebiasaan antara keponakan dengan anak saya?
Beruntung saya memperoleh pengasuh yang telaten membuat makanan padat untuk bayi. Ketika usia anak saya (6 bulan atau setahun, saya lupa) sudah boleh makan asupan padat, baby sitter tersebut mengolah makanan dari bahan yang dibeli dari tukang sayur. Tentu saja kecuali sereal atau semacamnya.