Rasanya? Terhidu aroma yang tidak sekuat soto rempah, tapi merangsang penciuman untuk segera menghirup kuahnya. Bumbu terasa berimbang, tidak ada yang lebih menonjol dibandingkan yang lain. Komposisinya pas banget.
Gurihnya kaldu ayam kampung sangat dominan. Tidak berat seperti soto yang terbebani dengan gurihnya santan. Ada terkecap tipis-tipis rasa khas kelapa sangrai.Â
Duh, kebanyakan ngomong jadi aja kuah dalam mangkuk besar itu tandas. Sayang sendoknya keras. Kalau enggak....
Kok sepi? Ya iyalah. Lha wong baru jam sepuluh pagi. Lagi pula rumah makan soto ayam kampung itu baru beroperasi kurang dari dua bulan terakhir.
Satu kritik saya, tulisan dan tanda yang menunjukkan keberadaan soto ayam kampung amatlah kurang. Nama spesifik pun tidak tampil jelas. Beda dengan rumah makan Chinese Food di sebelah dengan papan nama provokatif.
Meski mereka sudah memanfaatkan media sosial dalam strategi promosi, juga fasilitas take-away dalam penjualan, menurut saya cara-cara konvensional harus tetap dilakukan. Semisal, signage atau papan nama provokatif; pemasaran dari mulut ke mulut; dan marketing effort yang masih terjangkau dilakukan.
Paling tidak, strategi marketing mampu membawa costumer dan calon pembeli masuk ke rumah makan soto ayam kampung. Kemudian bagian operasional bertugas melayani customer sebaik-baiknya, sehingga lama-lama pembeli tersebut kembali lagi menjadi pelanggan.
Basis pelanggan dapat membesarkan sebuah rumah makan atau bisnis kuliner.
Saya sendiri merasa puas dengan entertainment rasa diberikan. Dalam waktu tidak terlalu lama saya akan kembali lagi ke rumah makan tersebut.
Komposisi pembentuk kuah dari kaldu ayam kampung, ditambah taburan bawang putih dan serundeng, menjadikan soto ini terasa istimewa. Baik aroma maupun rasa.Â