Tiada rotan, akar pun jadi. Tiada soto Lamongan, kwetiau yamin pun menjadi pereda hidung mampat. Juga penebus rindu.
Ketika menayangkan artikel terakhir, Kamis pekan lalu, sebenarnya saya sudah merasakan gejala penurunan kesehatan badan.Â
Udara terasa lebih dingin. Sering bersin, tapi tidak cukup melubangi hidung tersumbat. Setiap saat harus menyediakan tisu, untuk membersihkan cairan bening yang keluar sebilang waktu.
Sepertinya saya terserang virus flu. Tidak deman, tapi meriang. Dari hidung sesekali keluar cairan cenderung berwarna bening. Tidak pusing, namun malas membaca, menulis, atau apa pun yang membebani pikiran.
Kata orang-orang, masuk angin!
 Kemudian untuk menangkalnya, saya berselimut di tempat tidur. Tujuan lain berbelat kain tebal agar berkeringat. Ternyata selama empat hari cairan asin itu tidak merembes dari pori-pori.
Selama itu saya tidak mengonsumsi obat medis. Bagi saya, mengatasi infeksi flu adalah dengan makan cukup, perbanyak minum air putih, dan beristirahat lebih dari biasanya.
Konsekuensi logisnya adalah meninggalkan kegiatan sehari-hari, menulis, membaca lantas menanggapi artikel atau pesan-pesan dunia medsos.
Empat hari kemudian atau Senin kemarin udara mulai tidak terasa dingin. Cairan keluar dari hidung sudah tidak ada. Frekuensi bersin-bersin berkurang, tapi organ pernapasan masih belum lega.
Cuaca cerah. Matahari memancar terang. Tiba waktunya untuk menghirup hawa segar dan menyerap sinar pagi yang menyehatkan.
Setelah sarapan, minum obat pengendali tekanan dan pengencer darah, serta memakai masker, saya kemudian menyusuri jalan dengan pelan-pelan. Rupanya berbaring sekian hari di tempat tidur membuat badan terasa kaku.
Target jalan kaki pagi itu, selain melemaskan otot-otot, adalah mencari makanan hangat yang menyenangkan juga mengenyangkan. Dulu kalau menderita flu, saya biasa makan soto hangat.
Konon sup atau soto (orang bule menyebutkan: chicken/beer clear soup) bermanfaat dalam mengatasi flu. Aroma dan uap panasnya berkhasiat meredam gejala hidung tersumbat pada penderita flu.
Dulu, biasanya jajan Soto Gebrak gaya Lamongan di Setiabudi Jakarta Selatan. Namun berhubung jauh, saya akan mencari makanan alternatif yang sepadan: berkuah, berempah, panas.
Pilihan pas adalah soto Rempah Bu Nelly, tapi ternyata arah perjalanan menjauh dari gerai tersebut. Barangkali di jalan nemu yang kira-kira serupa.
Ada! Soto kuning khas Bogor dengan kuah santan kental. Enak sih, tapi makanan ini tidak disarankan bagi saya. Pilihan lain adalah soto mi, tapi saya tidak begitu berselera.
Saya kembali pulang. Melewati sebuah warung bakso di mana pada waktu sebelumnya saya pernah mampir.
Dari daftar harga terpampang, satu menu menarik perhatian saya: yamin. Tampak ada dua pilihan isi, yaitu mi dan kwetiau. Maka saya memesan kwetiau yamin dan segelas perasaan air jeruk diseduh hangat.
Baca juga: Pentingnya Daftar Harga Makanan, Jangan Sampai seperti Warung Tengkleng Ini
Saya mengenal olahan yamin ketika masih berstatus pelajar SMA. Paling tidak, sekali dalam dua minggu mampir ke Yung Shin, rumah makan Chinese Food legendaris di Bogor. Tersohor dengan olahan mi dan bakso yang lezat. Di antaranya, yang paling saya suka, adalah Yamin Bakso.
Jadi tiap kali ke sana saya pasti memesannya. Harganya lumayan berat untuk ukuran kantong pelajar. Namun sebanding dengan rasa enak yang didapat.
Itu empat puluh tahun yang lalu. Rasa-rasanya, sekarang hanya ada beberapa rumah makan mi yang menyediakan menu yamin, selain Yun Shin. Warung bakso pun terhitung jarang mengadakannya.
Atau bisa jadi, karena saya mainnya kurang jauh!
***
Di hadapan terhidang dua mangkuk. Satu berisi empat bakso berukuran kecil dikawal satu pentol besar. Sedangkan mangkuk lainnya berisi kwetiau dibumbui minyak ayam, merica, kecap asin, kecap manis. Kedua-duanya ditaburi bawang goreng dan irisan seledri.
Tidak tercium aroma. Hidung masih mampat. Namun bisa dipastikan ia berbeda dengan bebauan soto gebrak atau soto rempah.
Namun, kuah panas dengan kepulan uapnya merangsang hidung untuk bernapas lebih lega. Rasanya lumayan enak untuk ukuran warung bakso sederhana.
Dengan demikian, misi pagi itu tercapai. Melemaskan otot-otot dengan berjalan kaki. Menghirup udara segar. Menyerap sinar pagi menyehatkan.
Juga berkesempatan menyantap kwetiau yamin hangat sebagai pereda hidung tersumbat. Mampu menebus kerinduan rasa, kendati berbeda dengan produk Yun Shin.
Pada kesempatan lain, saya akan menjajal olahan Yamin di rumah makan tersebut yang masih bertahan sampai saat ini. Sekarang, yang terutama, berupaya agar tubuh sehat seperti semula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H