Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kisah Memeluk ODHA dan Fenomena Gunung Es

1 Desember 2021   19:57 Diperbarui: 1 Desember 2021   23:02 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dokumentasi pribadi disunting melalui canva.com

Anak-anak muda santun itu berbaris rapi menyambut ramah kedatangan kami di padepokan. Pandangan mata mereka sama: kosong tiada cahaya!

Awalnya saya tidak begitu memperhatikannya. Namun setelah mengikuti pelatihan saya menarik kesimpulan, tatapan kosong tersebut adalah semacam bahasa isyarat yang menyatukan mereka. Dalam kesamaan persoalan. Dalam kesamaan rasa cemas tentang masa depan.

***

Kami adalah peserta Training of Trainers (ToT) pada sebuah tempat rehabilitasi pecandu narkoba dan zat adiktif (napza) di Ciawi, Bogor. Saya mendapat privilese dari sebuah radio swasta di Jakarta.

Sepuluh atau sebelas tahun lalu. Saya agak sulit mengingat-ingat apa saja yang diperoleh dari pelatihan tersebut. Kira-kira ToT tersebut mengenalkan:

  1. Bagaimana seseorang bisa menjadi pecandu napza.
  2. Indikasi penyebaran HIV
  3. Cara-cara mengenali dan penanganan.
  4. Menghilangkan stigma buruk Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
  5. Sesi testimoni dari ODHA.

Begitu kira-kira yang saya ingat. Lha apa hubungannya antara pecandu napza dan ODHA? 

Dari keterangan para pecandu napza, mereka terjerumus karena "coba-coba" bukan akibat broken home, putus percintaan, atau frustrasi. Alasan-alasan tersebut merupakan dalih susulan setelah menjadi pecandu.

Beberapa merupakan pemuda/i berlatar belakang keluarga bahagia, ekonomi cukup, berprestasi di sekolah, dan tidak ada gejolak dalam perjalanan asmara. Pemicunya adalah mencoba "barang" dari teman pergaulan. Lalu terjerumus menjadi pecandu napza.

Mereka memiliki kecemasan sama dengan pecandu lainnya. Ditambah dengan terganggunya kesehatan, kondisi psikis ini membawa pandangan hampa. Mata kosong tiada cahaya. Cemas. Dari itulah para pecandu saling mengenal satu sama lain, meski baru bertemu. 

Sehingga tidak mengherankan, pecandu napza yang diasingkan oleh keluarganya dari pergaulan semula ke lingkungan baru, dengan mudah mendapatkan teman sesama pecandu. Dari pergaulan baru kadang menimbulkan kasus overdosis.

Hal itu disebabkan oleh otak pecandu yang masih mengingat dosis terakhir, mesti sudah "berhenti". Ingatan itulah yang mendorongnya untuk mengonsumsi napza melebihi takaran sampai kepada level terakhir. Tubuh tidak kuat, overdosis, lalu kolaps.

Tempat rehabilitasi tersebut menjaga agar mantan pecandu tidak mengonsumsi lagi napza. Tidak ada pengurangan sedikit demi sedikit, tapi sekaligus berhenti. Dengan konsekuensi, dalam kondisi tersebut pecandu akan merasa "sakaw" dan "nagih" napza.

Mengapa pecandu napza rentan terhadap HIV/AIDS?

Dalam pergaulan sesama pengguna, lazim dipakai jarum suntik sama untuk memasukkan narkotik ke dalam tubuh. Namun demikian, tidak semua napza menggunakan jarum suntik. Penggunaan jarum suntik secara bergiliran menjadi sarana penularan HIV.

Para pecandu napza merasa teralienasi dari masyarakat normal. Perasaan yang membawa kepada potensi pergaulan bebas. Ditambah, wanita pecandu, yang "sakaw" atau dalam keadaan panik memerlukan asupan narkoba, cenderung dimanfaatkan oleh lelaki buaya darat. 

Alat pencegahan penularan penyakit diragukan penggunaannya.

Melihat fenomena pertukaran jarum suntik dan pergaulan bebas tanpa pengaman, diduga terdapat kaitan erat antara pecandu napza dan HIV/AIDS.

Maka penyebaran HIV sulit diketahui. Menjalar, memencar di bawah permukaan laporan atau catatan terpublikasi. Risalah statistik resmi adalah pucuk gunung es dari persoalan sangat besar yang tenggelam di bawah permukaan laut.

Baca juga: HIV/AIDS: Menyelami di Bawah Permukaan Masalah

Pada malam terakhir, seperti biasa dilakukan ritual perpisahan pidato-pidato diikuti dengan acara salaman antara para peserta dengan fasilitator dan instruktur. Bukan cuma bersalaman, tapi berpelukan erat penuh rasa haru.

Ilustrasi memeluk ODHA oleh chermitove dari pixabay.com
Ilustrasi memeluk ODHA oleh chermitove dari pixabay.com

Akhirnya, pemilik tempat rehabilitasi sebagai fasilitator mengungkapkan, instruktur tersebut adalah eks-penghuni. Mereka pernah dirawat di padepokan itu.

Mereka adalah mantan pecandu narkoba dan zat adiktif yang mendedikasikan hidupnya untuk merawat para pecandu. Sebagian darinya adalah ODHA atau Orang dengan HIV/AIDS yang telah diperkirakan akhir hayatnya.

Jadi saya pernah memeluk erat ODHA. Kisah berpelukan itu bukan kepada satu, tapi terhadap berapa Orang dengan HIV AIDS. Ternyata sampai hari ini saya masih hidup, tidak terpapar sama sekali.

Tempat rehabilitasi pecandu narkoba tersebut dimiliki oleh londho Amerika yang juga mantan pecandu alkohol. Kesembuhan dari adiksi diperoleh setelah ia mengikuti program Alcoholic Anonymous (AA).

Metode tersebut diciptakan oleh dua mantan pecandu narkoba dan zat adiktif berkebangsaan Amerika. Ia merupakan forum para pecandu yang saling menyampaikan isi hati, mengutarakan kecemasan, dan segala permasalahan menjadi "orang aneh" yang tersingkir.

Dalam forum itu tidak muncul tentang nama, asal, apalagi agama. Oleh karena itu disebut Alcoholic Anonymous. Hanya membahas ihwal kecanduan alkohol di antara pecandu.

Baca juga: Metode AA untuk Mengatasi Ketergantungan kepada Minuman Beralkohol

Dari fragmen ingatan di atas, dapat ditarik pelajaran sebagai berikut:

  1. Pengalaman berpelukan erat dengan ODHA membuktikan, penularan HIV bukan karena sentuhan, tetapi karena pertukaran cairan tubuh. Ia juga tidak menular melalui udara, air, keringat, air mata, air liur, dan gigitan nyamuk (sumber).
  2. Realitas sebaran HIV sulit diketahui. Data resmi terpublikasi diduga merupakan fenomena gunung es dari masalah yang jauh lebih besar.
  3. Tidak "coba-coba" menggunakan narkoba dan zat adiktif, walaupun sesekali, karena ia adalah pintu masuk ke ruang gelap kecanduan.
  4. Bila menemukan pecandu dan ODHA, rangkul mereka dengan bahasa empati, bukan dengan menghakimi. Judgement dengan menganggap sebagai "creep" akan membuat mereka semakin teralienasi.
  5. Ajak ODHA berkonsultasi dengan dokter atau pihak berkompetensi menangani HIV AIDS. Bukan ke dukun atau kyai untuk diceramahi.
  6. Dan bagi kita, lakukan kegiatan-kegiatan sesuai norma-norma kebaikan umum, hukum, dan ajaran agama masing-masing.

Jadi, perlakukan ODHA alias Orang dengan HIV/AIDS selayaknya sesama insan ciptaan Tuhan, bukan sebagai "orang aneh" atau creep. Demikian agar optimismenya bangkit.

Bukankah timbulnya semangat pada seseorang dapat meningkatkan recovery?


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun