Begitu menutup telepon genggam, aku terpaksa meminta izin kepada atasan. Lalu secepat angin terbang ke rumah kontrakan.
"Aku tahu, kamu berat hati memberikan cinta seutuhnya," isak wanita yang sedang memasukkan baju-baju ke dalam koper.
"Aku carikan tempat lebih bagus. Jadi...."
"Sudahlah. Telah kuserahkan seluruh jiwa raga kepadamu, tapi kamu..."
Sampai bagian itu bibirku terkunci. Kegundahan bercampur sesal bercabang-cabang di dalam hati.
Aku tahu persis, resultan dari desakan-desakan pikiran untuk mencari jalan penyelesaian, tidak bakalan menundukkan hati wanita itu.
Rayuan dan senyum menawan, sebagai alat penakluk hati, tidak berlaku lagi bagi wanita berwajah ayu tersebut. Ia sudah terlalu muak! Tiada lagi pasal yang dapat membatalkan tangan lentiknya menutup koper.
Koper kesayangan. Koper berwarna cokelat terang yang dibawanya ketika pertama kali tiba.
Koper berwarna cokelat terang yang tadinya berisi harapan-harapan gadis bersahaja kepadaku. Mau tinggal di ruwetnya kota besar. Di rumah petak berbayar bulanan.
Ada banyak kebahagiaan dilewati di dalam sekat berukuran 3X6 m persegi itu. Di bawah genteng betonnya terdapat senda gurau, keceriaan, dan kehangatan, meski terasa terlalu panas manakala matahari tepat berada di atas kepala.