Terkandung dalam regulasi 'hak untuk beristirahat' melarang atasan menghubungi bawahannya di luar jam kerja, baik melalui pesan teks maupun email.Â
Kebijakan tersebut dibuat demi menyikapi perubahan untuk meningkatkan kualitas worklife balance di negara Portugal. Terutama dengan semakin meningkatnya sistem working from home (selengkapnya: kompas.com).
Apakah di negara kita ada aturan ketenagakerjaan semacam itu?
Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya mewajibkan pengusaha menjalankan ketentuan sebagai berikut:
- Waktu kerja 7 jam dalam 1 hari atau 8 jam dalam 1 hari, dengan akumulasi dalam waktu seminggu sebanyak 40 jam kerja.
- Sehingga dalam 1 minggu bisa terdapat 6 hari atau 5 hari kerja, disesuaikan dengan durasi jam kerja dalam sehari.
- Waktu istirahat, yang tidak dihitung sebagai jam kerja, diberikan minimal setengah jam setelah pegawai bekerja selama 4 jam terus menerus. Sedangkan istirahat mingguan adalah 1 atau 2 hari tergantung jumlah hari kerja dalam satu minggu.
- Melebihi ketentuan jam kerja (7/8 jam perhari atau akumulatif 40 jam perminggu), diperhitungkan sebagai waktu kerja lembur. Itupun harus diikuti oleh surat perintah tertulis dari perusahaan dan persetujuan tertulis/digital dari pekerja bersangkutan. (Sumber bacaan)
Kendati secara spesifik tidak disebutkan tentang "instruksi bos" melalui pesan WhatsApp dan surel, ketentuan di atas mestinya mengikat perusahaan. Namun kenyataan di lapangan meriwayatkan hal berbeda.
Selama terjun di dunia kerja, saya sempat mengalami momen-momen dihubungi oleh atasan di luar waktu kerja. Di dua perusahaan berbeda pula!
Bukan melalui SMS (WA belum ada) atau surel, tetapi langsung ditelepon. Lebih ruwet kan? Instruksi tetap dari bos, telepon genggam "harus" aktif selama 24 jam sehari. Mau tidak mau panggilan telepon darinya diangkat. Tiada jalan keluar.
Oh ya. Pada waktu itu pengguna telepon genggam amatlah jarang. Nada deringnya membuat orang-orang di lobi gedung megah kawasan segitiga emas begitu terkagum-kagum.
Pengalaman pertama berlangsung di perseroan yang pimpinannya menuntut sebagian karyawannya bekerja dengan mati-matian (all out). Termasuk posisi saya yang dianggap sebagai "jantung" perusahaan.
Sering terjadi, kegiatan melampaui batas waktu kerja. Dalam soal ini memang manajemen tidak terlalu tunduk pada peraturan ketenagakerjaan. Bos besar kerap berlaku seenaknya.
Tiba di kantor menjelang makan siang. Rapat dan rapat sampai sore. Kadang tidur di sofa kulit dalam ruangannya yang luas. Menjelang magrib baru bangun.
Sore itulah dimulai kesibukan. Memberi instruksi ini itu kepada tim inti, juga para office boy untuk menyediakan makan malam. Alhasil pekerjaan baru berakhir ketika orang lain berkelana di alam mimpi.
Jika saya sudah pulang, ditelepon langsung oleh big boss. Ada pekerjaan harus diselesaikan malam itu juga. Maka kembali ke kantor merupakan keharusan. Sementara besok pagi pukul delapan saya sudah harus datang ke kantor lagi.
Melelahkan. Juga mengurangi waktu untuk berkeluarga, melakukan sosialisasi, berekreasi, dan istirahat. Disebut tiada keseimbangan kehidupan pribadi dengan lingkungan pekerjaan (worklife balance).
Puncaknya adalah saat anak saya berumur sebulan. Pada suatu Sabtu siang, sebuah nada dering terdengar. Mengangkatnya dan menegaskan kepada bos di ujung sana bahwa saya berada di rumah sakit.
"Oke. Seusai dari sana, langsung ke kantor ya!"
Ia tidak mengerti situasi. Saat itu saya terbaring tanpa daya, bersiap-siap operasi usus buntu yang akan dilaksanakan pada keesokan harinya. Di situlah saya merasa "diperbudak" oleh pekerjaan.
Tidak lama kemudian saya pindah ke perusahaan lain, di mana saya mengalami masa "normal" bekerja sesuai jam kerja.
Kemudian pindah lagi di perusahaan lebih besar dengan gaji gendut. Awalnya saya bekerja normal juga. Jadi karyawan tenggo (nine to five employee) dengan ritme kerja teratur. Namun pengalaman itu hanya berlangsung enam bulan.
Kepercayaan tinggi bos kepada saya, membuatnya demanding. Bahkan untuk memastikan saya gampang dihubungi, ia membelikan saya sebuah telepon genggam khusus. Tidak boleh dimatikan, harus hidup selama 24 jam sehari.
Awalnya bangga menjadi kepercayaan, bahkan tangan kanan big boss. Lama-kelamaan terasa melelahkan. Beberapa kali saya terbangun selewat tengah malam demi mendengar nada panggil. Telepon dari atasan dari lounge sebuah hotel bintang lima, untuk menemaninya ngobrol dan ngopi.
Pengalaman "diperbudak" oleh pekerjaan terulang kembali. Tidak betah dengan keadaan, saya pun kemudian berpamitan. Tidak lupa, menyampaikan pemberitahuan pengunduran diri sebulan sebelum waktunya (one month notice).
Singkat cerita, kita sebagai pekerja seyogianya menanggapi, bila atasan menghubungi di luar jam kerja, dengan batasan sebagai berikut:
- 'Tingtung' suara WA masuk atau email atau telepon dari bos dalam selang waktu normatif untuk bertamu, baiknya segera direspons. Waktu pantas untuk berkunjung, misalnya masih di bawah jam 9 malam.
- Setelah masa itu berakhir, disarankan agar telepon genggam dimatikan. Atau bila tidak terbiasa, bisa dengan menyetel ke silent mode. Itu merupakan "kode halus" bahwa ada saatnya kita tidak bisa diganggu, karena sudah beristirahat atau sedang fokus kepada waktu berharga bersama keluarga.
- Menyelesaikan tugas-tugas kantor secara maksimal pada jam kerja ditentukan. Dengan itu tidak ada alasan cukup bagi atasan untuk menghubungi bawahan di luar jam kerja.Â
- Kalaupun merupakan kegiatan ekstra, pekerjaan lembur itu dirancang sebelumnya dengan instruksi dan persetujuan tertulis.
Jika pekerjaan lembur tersebut berlangsung terus menerus menimpa diri Anda, bisa jadi ada yang tidak beres dengan kinerja perusahaan tersebut. Seharusnya kekurangan tersebut diikuti oleh penambahan tenaga kerja. Atau membuat shift kerja. Bukan ditanggung oleh pundak Anda sendiri.
Keadaan bekerja (dianggap demikian karena berdasarkan "perintah" bos) atau gangguan telepon dari atasan di luar jam kerja, yang berlangsung terus menerus, akan berdampak buruk terhadap kehidupan pribadi.Â
Sudah waktunya bagi Anda untuk meninggalkan perusahaan tersebut.
Atasan demanding atau terlalu menuntut bawahan untuk bekerja di luar batas-batas waktu wajar, menunjukkan bahwa entitas bisnis tersebut mengalami krisis pengelolaan. Manajemennya tidak sehat.
Ngapain lagi bertahan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H