Tiba di kantor menjelang makan siang. Rapat dan rapat sampai sore. Kadang tidur di sofa kulit dalam ruangannya yang luas. Menjelang magrib baru bangun.
Sore itulah dimulai kesibukan. Memberi instruksi ini itu kepada tim inti, juga para office boy untuk menyediakan makan malam. Alhasil pekerjaan baru berakhir ketika orang lain berkelana di alam mimpi.
Jika saya sudah pulang, ditelepon langsung oleh big boss. Ada pekerjaan harus diselesaikan malam itu juga. Maka kembali ke kantor merupakan keharusan. Sementara besok pagi pukul delapan saya sudah harus datang ke kantor lagi.
Melelahkan. Juga mengurangi waktu untuk berkeluarga, melakukan sosialisasi, berekreasi, dan istirahat. Disebut tiada keseimbangan kehidupan pribadi dengan lingkungan pekerjaan (worklife balance).
Puncaknya adalah saat anak saya berumur sebulan. Pada suatu Sabtu siang, sebuah nada dering terdengar. Mengangkatnya dan menegaskan kepada bos di ujung sana bahwa saya berada di rumah sakit.
"Oke. Seusai dari sana, langsung ke kantor ya!"
Ia tidak mengerti situasi. Saat itu saya terbaring tanpa daya, bersiap-siap operasi usus buntu yang akan dilaksanakan pada keesokan harinya. Di situlah saya merasa "diperbudak" oleh pekerjaan.
Tidak lama kemudian saya pindah ke perusahaan lain, di mana saya mengalami masa "normal" bekerja sesuai jam kerja.
Kemudian pindah lagi di perusahaan lebih besar dengan gaji gendut. Awalnya saya bekerja normal juga. Jadi karyawan tenggo (nine to five employee) dengan ritme kerja teratur. Namun pengalaman itu hanya berlangsung enam bulan.
Kepercayaan tinggi bos kepada saya, membuatnya demanding. Bahkan untuk memastikan saya gampang dihubungi, ia membelikan saya sebuah telepon genggam khusus. Tidak boleh dimatikan, harus hidup selama 24 jam sehari.
Awalnya bangga menjadi kepercayaan, bahkan tangan kanan big boss. Lama-kelamaan terasa melelahkan. Beberapa kali saya terbangun selewat tengah malam demi mendengar nada panggil. Telepon dari atasan dari lounge sebuah hotel bintang lima, untuk menemaninya ngobrol dan ngopi.