Memelihara hewan bukan merupakan kesenangan tersendiri dalam keluarga. Kalaupun ada, enam atau tujuh kucing buangan beranak-pinak sampai tua karena diberi makan. "Tidak sengaja" dirawat.
Kucing tua menghilang sulit diketahui keberadaannya. Tidak ada jejak. Kucing menggaib digantikan oleh anak kucing baru dilahirkan, atau sengaja disingkirkan oleh manusia tidak bertanggung jawab. Demikian seterusnya.
Ada masanya kucing-kucing berteman dengan seekor kelinci yang entah datang dari mana. Tidak bertahan lama. Playboy berbulu putih itu tidak memiliki teman sehati. Juga tidak mampu beradaptasi dengan iklim hujan. Taksampai setahun, ia meninggal. Dikubur di halaman rumah.
Pada tahun-tahun sangat lama, orang tua saya sempat memelihara ayam kampung. Bukan unggas istimewa seperti ayam Bangkok atau ayam hias lainnya. Bukan.
Untuk apa?
Mungkin untuk lucu-lucuan. Bukan sebagai bahan opor. Kami sekeluarga tidak akan tega memakan hewan peliharaan sendiri. Ayam yang sudah berakhir hidupnya, dikubur.
Biasa saja. Sedikit saja merasa kehilangan.
Namun kehilangan hewan peliharaan satu ini menggedor-gedor rasa sedih mendalam. Dalam jangka waktu lama menjadi pikiran semua anggota keluarga.
Suatu ketika sepulangnya dari turne)* ke Kupang, ayah saya membawa seekor hewan lucu. (Selamat Hari Ayah, di alam sana).
Unggas mungil itu tampak lucu dan tampan, seluruh bulunya berwarna hitam mengkilap, dengan paruh kuning agak oranye dengan strip kuning di sekitar mata, kuping, sampai ke bagian belakang tengkuk.