November Rain! Selain ditandai oleh turunnya hujan, awal bulan November tahun ini konsumen merasakan lonjakan harga minyak goreng.
Kenaikan dipicu oleh ekskalasi harga crude palm oil (CPO) di pasar dunia. Juga oleh meningkatnya penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel, serta turunnya produksi kelapa sawit. [1]
Pertambahan nilai membuat resah para pengguna. Di baliknya tersimpan berkah takterduga.
Apa itu?
Kesempatan mengurangi goreng-gorengan atau mengolah bahan makanan dengan minyak. Bisa dengan cara mengukus, merebus, memanggang di wajan anti lengket, atau membakarnya di atas bara api.
Sejak akhir tahun 2018 saya sudah mengurangi makanan gorengan secara drastis. Penyakit kronis membuatnya demikian. Alasan medis, bukan gaya-gayaan.
Umumnya saya makan sajian tanpa digoreng terlebih dahulu. Diproses dengan cara-cara berbeda, kendati bukan memakai teknik luar biasa. Umpamanya:
- Mengukus; tempe tahu, sayur-mayur, daging ayam, jagung, talas, ubi, dan sebagainya.
- Merebus; ikan (sup), daging-dagingan, kentang, kacang-kacangan, telur, dan lainnya.
- Memanggang di wajan teflon; penganan yang mesti dimatangkan dengan cara dipanggang, semisal pizza singkong. Hah? Maksud saya, ketela parut dimasak dalam teflon.
- Membakar di atas bara; sate, ikan, sosis, dan banyak lagi.
Saya jadi teringat, almarhumah ART beberapa kali membuat sebuah masakan dengan cara dikukus dan dipanggang di atas bara api.Â
Unik, enak, dan belum pernah saya lihat di kesempatan lain (mungkin karena saya mainnya kurang jauh).
Disebut ayam berisi segala macam dedaunan. Diolah dengan cara dikukus lalu dipanggang di atas bara api. Seru kan!