Sebuah momok menggelisahkan bagi mahasiswa tingkat akhir ketika menyelesaikan skripsi. Di situlah peran penting dosen pembimbing. Namun demikian, memperoleh dosen pembimbing seperti Pak Bixby adalah sebuah mimpi buruk.
Mereka dituntut mengerucutkan hasil belajar selama enam semester dalam sebuah karya tulis ilmiah. Skripsi yang bersifat komprehensif, juga merangkum kemampuan mahasiswa dalam mengoperasikan teori-teori atas fenomena tertentu. Dibutuhkan metodologi untuk merakitnya.
Diperlukan ketelitian dan semangat. Membuat simulasi berdasarkan data yang sebelumnya dikumpulkan dengan susah payah. Menyusun hipotesis dan kerangka berpikir.
Kemudian menjelajahi belantara teoretis, berusaha menemukan potongan hukum-hukum, lalu mengonstruksinya menjadi kerangka teori. Kelak digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah permasalahan yang telah dikemukakan di awal. Selain diisi dengan pendekatan-pendekatan, kerangka itu dibubuhi daging berupa fakta pendukung.
Keseluruhan kerangka pemikiran, bangunan teori, dan bentuk akhir dari skripsi itu akan diverifikasi oleh sidang para dosen penguji.
Ruang gelap penjelajahan itulah yang menjadikan mahasiswa gelisah, kurang tidur selama paling tidak 5 bulan demi menghasilkan skripsi. Segelintir mahasiswa lainnya menyerah.
Namun demikian, melewati belukar beronak-duri menembus belantara skripsi tidaklah dilakukan sendiri. Ada pemandu berpengalaman. Ada peran penting dosen pembimbing.
Ditunjuk oleh sistem, sesuai kapasitas dan ketersediaan waktu, pengajar bergelar doktor menuntun mahasiswa menyusun tugas akhir. Satu periode menjadi teman bertukar pikiran. Pada waktu lain menularkan pengetahuan berkaitan dengan skripsi.
Akan tetapi, jika memperoleh Pak Bixby sebagai dosen pembimbing, maka celakalah mahasiswa tersebut. Dan itu yang terjadi pada saya. Sistem berwajah kaku, berhati beku, dan berkepala batu memilih kartu.
Padanya tertulis, "Doktor Bixby sebagai pembimbing Anda dalam penyusunan tugas akhir.